Sepenggal Cinta Sederhana

Bumi pun bergelayutan dalam sunyi..
tapi masih ku nikmati heningnya dalam jaga yang menyepi..
masih kucumbui cinta yang tak bertepi..
malam pun merangkak hingga ke peraduannya yang sepi..
masih juga aku berceloteh tentang cinta hingga dini hari

Mungkinkah hidupku yang terasa hampa..
dapat mengembalikan segala yang pernah terlupa?
Tapi masih saja rapalanku tentang cinta serupa lantunan do’a..
karenanya jualah cinta tak mengenal siang dan malam, tidur atau jaga..


Saat kau masih terpesona dalam jaga dan mimpimu..
sempurnakanlah pejammu itu..
akan kau dapati tanganku terulur di balik selimut malammu..
sekalipun itu di mimpi burukmu...
aku akan hadir di situ menepis keraguanmu..
karena kaulah cinta itu..
dan cinta pun mampu merapikan segalanya dari dosa juga sepi yang membisu

Bila malam menyempurnakan kesucianmu...
segalanya terasa paripurna..
maka, anjakkanlah keanggunanmu..
dan kau akan menjumpaiku dengan seonggok kisah basi..
sepenggal cinta sederhana sepanjang malam dan pagi harimu

Yogyakarta, 1 November 2011
Baca Selengkapnya...

Maaf, Kau Harus Pergi

Kawan...
pongah, kau menantang menerjang...
bak pejuang yang terus berteriak lantang...
seakan serak memilu takkan penah bertandang...
kau lumat habis kisah yang kau ukir, hingga asa itu menghilang...

aku tahu kejenuhan kerap menghampiri...
kegalauan kadang kala terselip dalam sepi...
pada akhirnya, kau nikmati lagu kegelisahan hati...

kau kini sendiri...
terkulai lemas tak bernyanyi...
bahkan sang penyanyi pun tak sudi menghampiri...

maaf, bukan aku tak peduli...
yang kurasa aku telah kehilanganmu, sahabat yang sangat kukagumi...
sekali lagi maaf, aku tak pernah berharap kau kembali lagi...
tak mungkin bagiku berteman dengan orang suci...
atau berceloteh ria dengan manusia yang sangat berbakat jadi nabi...

Yogyakarta, 26 Oktober 2011
Baca Selengkapnya...

Auramu Makin Pudar

Dulu…bersamamu kunikmati pesonamu
Melintasi hempasan angin yang beriring menerpa ragu
namun kini..yang kurasa semua menjadi tiada, terhapus di benakku

Ribuan makna yang mengendap dalam segala waktu
Hinggap dalam nyanyian rindu yang menggebu
Tapi semua bagai angin lalu..
Tak lagi bisa kuraba, kurasa,  semua yang kujamah terasa kosong..

Ragu aku mengharapmu…, hingga asa yang tertumpah menemui tetes penghabisannya…..
Entah…tiba-tiba aku enggan mengumbar rindu..
Tiba-tiba aku ingin berhenti mencintaimu…
Mungkinkah karena sikapmu yang makin lama tak lagi membiusku
Perlahan menghilang di balik dusta

Auramu semakin memudar karena sikapmu sendiri....
Meski kurasa tatap matamu yang semakin sendu kerap menghampiri
Tapi tetap tak mampu menguatkan keyakinanku sendiri
Dalam diammu yang bisu, semakin membuatku sepi
Ah, Aku lebih baik pergi.....

Maaf, aku bukan pemuja rahasiamu..
Apalagi berniat memata-mataimu..
Namun.., ah itu masa lalu...
Yang kurasa rindu itu...Terhempas begitu saja..

Yogyakarta, 21 Juli 2011
Baca Selengkapnya...

Puisi Ramadhan

RamadhanMU

Rabbku…,
Aku bersyukur Kau masih mengizinkanku hadir di RamadhanMu…
kini aku berhasrat ada di dekapannya  yang tak kusampaikan di waktu lalu..
Walau sejenak, ingin  kunikmati setiap tetes embunMu  di tengah dahagaku..
Dan kubalut tubuhku dengan harmoni cintaMu..
Hingga yakin  kutemukan Ramadhanku..

Tapi, aku masih bertanya-tanya…
Mungkinkah Ramadhanku bisa   mengartikan cintaku..?
Saat di lain waktu aku tak dapat meluangkan rasa cintaku…
Saat di lain tampat aku hanya berceloteh ria dengan nyanyianku..
Memaki, mencaci.., hingga terlontak keangkuhan dalam jiwaku…
Dan  nyanyian-nyanyian yang menjemukan masih bersemayam di relungku…
Seakan mengumbar  rindu tapi yang kurasa tabu…

Ramadhan yang  kueja lewat penaku..
Menghadirkan diriku dalam kosong hampa tanpa ruang..
Hingga syair-syair berkeliaran timbul tenggelam melalui celah gemulai langkah jemariku,
Merona, tak sadar aku telah kasmaran dalam cintaMu

Rabbku,
Aku tak ingin mengumbar ragu di sini…
Ingin kujamah keanggunan RamadhanMu..
Entah, mungkin kehadiranku dalam RamadhanMu  tak sekedar kisah..
Sesaat saja Kau pasti menjemputku hingga ronaku itu meredup..
Lelap..

Yogyakarta, 10 Juli 2011
Baca Selengkapnya...

Diary Qur'an

Tak tahu aku bagaimana memulainya. Hampir tiga jam aku hanya bisa  berbengong diri tak bisa memikirkan apa yang mesti ku tulis. Mataku sebenarnya sudah terkantuk-kantuk hingga hendak ku rebahkan diriku melayani keinginan mata. Tapi enggan rasanya jika harus kuturuti, juga akibat fikiran-pikiran yang berkecamuk dalam otak silih berganti dan berubah-ubah tak tentu. bayangan-bayangan yang menjemukan bermunculan dalam benakku tiba-tiba muncul perut, ada kepala, ada  jalan raya.. kampung halaman sampai seisinya, ada pelajaran kuliah, e...ada tugas...
Entah bagaimana aku harus menuliskan langkah perjalananku dalam mengenal Al-Qur’an.  Daripada bengong mending ku tulis saja... apapun jadinya, tapi bukan ala-kadarnya.
Ada rasa sedikit malu  bila harus ku tuliskan pengalamanku bagaimana si Wiwin kecil mengenal Al-Qur’an. Berat rasanya bila harus ku ceritakan. Tapi ini penting! selain sebagai tugas mata kuliah Ulumul Qur’an, namun juga bisa ku jadikan sebagai caraku untuk mengingat masa lalu yang nantinya bisa di jadikan sebagai pijakan untuk ... yah, apa saja...!
Semilir angin masuk lewat ventilasi menyapu tubuhku, udara dingin menyelusup dalam pori-pori. Ku benarkan posisi selimut untuk menutupi kakiku dan memberikan kehangatan di situ. Di tengah tidurku yang ku rasa tak nyenyak, sayup-sayup ku dengar suara azan subuh dari masjid. Suara itu begitu berat terdengar sampai di penghujungnya.
Ku dengar suara gemericik air dari kamar mandi. Pasti ibu pikirku. Aku tetap tak memicingkan mata, aku masih berusaha melanjutkan mimpi. Namun tak juga aku tertidur. Aku pun beranjak dari tidurku dan keluar dari kamar. Kusaksikan ibuku ada di ruang tamu.
“Bu, mau pipis...” rengekku sambil tetap berdiri mematung di pinggir pintu kamarku.
Ibu tetap diam dan tampak khusyuk dalam sholatnya. Aku masih menunggu ibuku selesai dengan ibadahnya.  Dan perasaan takut yang ku rasakan bila harus ke kamar mandi sendiri. Yah... masih bocah. Maklumlah.
Tak berapa lama ibuku sudah menyelesaikan ibadahnya. Diantarnya aku ke kamar mandi.
Udah....tidur lagi sana” kata ibu setelah aku menyelesaikan pipisku.
Aku pun beranjak kembali ke tempat tidurku. Sedangkan ibu tak langsung melepaskan mukena yang dikenakannya.
Dari kamarku Kudengar suara ibu melantunkan sesuatu (entah apa... yang kemudian hari ku ketahui itulah yang dinamakan alqur’an, kitab suci umat Islam). Lantunan itu begitu mendayu-dayu dan memang sungguh menggodaku. Namun aku tetap tak beranjak dari tidurku. Akupun kembali tertidur diiringi suara ibu yang mendayu-dayu lirih membaca Al -Qur’an.
Hampir setiap hari ku saksikan dan kudengar ibu melantunkan Al-Qur’an. Ya...  suara itu keluar dari mulut ibuku hampir setiap pagi selepas sholat subuh. memori itu selalu terlintas di benakku. Saat itu umurku baru sekitar tiga tahun lebih. Aku belum mengenal apa itu Al-Qur'an. Jangankan mengerti maksudnya, membacanya saja aku masih belum bisa.
Hingga aku masuk SD baru aku kenal dengan tulisan Al-Qur’an.  Orang pertama yang mengenalkan ku dengan Al-Qur’an adalah ibuku. ibu mengajariku untuk membacanya. Biasanya selepas mghrib ibu mengajariku membaca alqur’an dengan cara menghafalkan huruf hijaiyah. Alif.... ba... ta...dst.
Hari-hari kujalani dengan apa adanya. Tak ada hal yang istimewa bagiku, aku tumbuh besar pun layaknya anak kebanyakan. Saban sore ibu selalu mengajakku  belajar mengaji  namun aku sering mengalami kebosanan karena aku tak mengerti maksud dari apa yang ku baca, apa artinya. Dan lebih memilih nonton TV (TV tetangga tentunya..).
Sore itu seperti biasa selepas maghrib aku kembali mengaji. Dan ibu satu satunya guru sedangkan aku satu-satunya murid. “Ini adalah pedoman hidup kita” kata ibu sembari tangannya memegang alquran yang sudah lapuk itu. Tetap saja aku tak mengerti maksudnya. Dan akupun tak berniat bertanya lebih lanjut apalagi  untuk menyanggahnya. Rasa 'ingin tahu'  itu terus ku pendam dan hanya bertanya-tanya dalam hati. Jangankan  mengaji dan membaca pun aku belum lancar.
Umurku terus bertambah hingga aku naik ke kelas tiga SD. Membaca aku sudah mulai lancar tapi mengaji aku masih belepotan. Hingga ada pengumuman akan dibuka Taman Bacaan Al- Qur’an (TBA...sejenis TPA) Sija Carana (inilah caranya). Aku pun bermaksud daftar di TBA tersebut. Ku utarakan maksudku tersebut pada ibu. Dengan senang hati ibu pun mendaftarkan aku.
Di TBA tersebut aku mulai belajar mengaji dimulai dari nol, maklum rata-rata muridnya belum bisa baca Al-Qur’an jadi pemerataan. Ada sekitar dua puluh santri, dan aku bangga menjadi salah satu santri angkatan pertama di TBA tersebut. Kami pun dibagikan buku IQRO’ I. Kemudian para santri dibagi 5 kelompok dengan guru damping satu. Dengan bekal pelajaran yang ku dapatkan dari ibu tentu aku tak banyak mengalami kesusahan.
Banyak pengalaman menarik yang ku alami ketika berada di TBA tersebut. Ada satu cerita yang berkaitan dengan seorang guru. anggap saja namanya pak Arifin. Seperti biasa selepas mengaji sebelum pulang ada ceramah atau cerita dari seorang guru. Kebetulan hari itu giliran pak Arifin (entah hari apa, tanggal berapa aku lupa).
“Ada yang tahu apa arti surat Al-Fatihah nggak?” tanya pak Arifin pada para santri. Namun santri-santri hanya diam.
Kemudian pak Arifin melanjutkan ceramahnya. Diambilnya satu Al-Qur’an tanpa terjemah dan mulai menerjemahkannya per ayat surat Al-Fatihah tersebut. Akupun terkagum-kagum dengannya, padahal dia tidak memakai Al-Qur’an terjemah.
Namun sontak kekagumanku buyar... dan terlintas bayanganku tentang tingkah-polah pak Arifin dalam kesehariannya.
“Bukankah pak arifin seorang penjudi?” Tanyaku namun hanya dalam hati. Ya, banyak sekali macam perjudian yang ada di desaku, dari anak-anak kecil sam pai kakek-kakek juga ada. Bahkan ada seorang haji yang memang suka judi. Judi seakan sudah menjadi budaya di desaku.
 “Kalau mau saya bisa kok menerjemahkan semua isi Al-Qur’an ini” kata pak Arifin sambil kemudian menhidupkan rokok. “Sombong” terbersit di otakku mendengar perkataan itu. Tiba-tiba terngiang perkataan ibuku: Al-Qul’an adalah pedoman hidup.
“Pak, apa maksudnya Al-Qur’an sebagai pedoman hidup?” tanyaku ditengah  pembicaraan Pak Arifin.
Tampak dia terdiam beberapa saat sambil menoleh ke arahku, dihisapnya rokok dalam-dalam, sedang matanya tajam menatapku. Ku tarik napas dalam-dalam sambil berharap pak Arifin tak mendampratku karena memotong pembicaraannya. Ah, semuga ucapan ibuku dapat ku jadikan pegangan dalam perjalanan hidupku kelak amin, doaku dalam hati. Huhhhh.
Yogyakarta, 10 april 2010
Catatan: ini adalah tugas 
Mata Kuliah                : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu        : Drs. H.M Syakir Ali
Disusun Oleh              : Wiwin Solikhin


Baca Selengkapnya...

Hidangkan Aku Kopi

saat gitarku tak mampu lagi mengiringi sayatan gemulainya nyanyianmu....
di masa  detik yang terketik untuk syairku terdengar picisan oleh senandungmu....
selagi  tubuhku tergeletak dalam layu dan sosok gersang ...sedang mataku terkulai dalam lagu dan kata usang....
hingga mulutku bungkam tak mampu lagi bersuara....
hidangkan aku kopi, sebagai penambah sempurnanya gatal tenggorokan yang serak mendahaga pilu...
benyanyilah semaumu..,
tapi jangan lupa..  hidangkanlah kopi itu... sementara aku beli rokok dulu

Yogyakarta, 29 Juni 2011
Baca Selengkapnya...

Perbatasan

Di sana aku menjumpamu...
Di sana juga aku pernah melepasmu..,
Saat jiwa-jiwa yang bisu berbisik di telinga kiriku,
tak urung aku pun meninggalkanmu

Di perbatasan antara jaga dan mimpi...
Suara mendayumu mengajakku berlari-lari dalam bayangan masa lalu..
Masa aku masih memujimu..., saat murkamu serasa lecutan cambuk di otakku..
Hingga ke masa aku memakimu..., saat candamu masih tak menyadarkan kefanaanku..
Ya, antara puji dan maki..

Di waktu yang masih jauh dari petang ini, aku ingin selalu bersamamu..
Ingin kucumbu setiap jengkal keanggunanmu..,
Ingin kuraih dan kugenggam erat cintamu....,
Ingin kureguk setiap tetes embunmu..
Ingin kurasa nikmatnya belaianmu..
Ingin ku...

Di perbatasan sengal nafasku, antara hidup dan matiku..
aku ingin tetap dalam dekapanmu...
Rengkuh jiwaku selalu...
Hingga belaian sang bayu melenakan lelapku....

Rabbku...
Jangan batasi aku untuk mejamah kemesraanMu..

... saat fajar masih bertahan diri, di tengah kunanti mentari..
Yogyakarta, 30 Mei 2011

Baca Selengkapnya...

Benarkah Kau Kawanku

Kawan.., kaulah nikotin yang merampas oksigenku dari kelebatan waktu...
hingga nafasku timbul tenggelam dalam lautan masa ke segala penjuru..
menyisakan racun yang bersekutu di dadaku..

Kawan.., kaulah arak yang merenggut tubuhku dari malam ke lain malam hingga berlalu... hingga dalam lenanya yang memabukkan...
merapuhkan tubuhku di segala dunia yang membisu...

Kawan.., kaulah ruang tempatku bercengkrama memuntahkan luapanku....,
hingga cacian murka dari sendawa kita yang menyempitkan gerakku..
membatasi jarakku..
memaki keyakinanku...

Dengan bangganya kusebut.. kau penjernih fikiranku...
Dengan angkuhnya kuteriakkan.. kau penawar dahagaku...
Dengan syahdunya kubisikkan.. kau pelampiasan birahiku...

Tapi, aku tak sanggup telanjang di hadapanmu...

Yogyakarta, 27 Mei 2011
Baca Selengkapnya...

Aku dan Kalian

Semayamku akan ingatan tentang kalian..
Nama yang kudekap dan kusebut satu demi satu..
Hingga kita pun tenggelam dalam lautan waktu..
Tanpa wujud kilasan cahaya hingga melarutkan raga..
Hingga tanpa salahnya kutemukan kalian semuanya,
mungkin juga kalian yang menemukanku...,
entah berapa banyaknya kita tersempal..bergulat..
perlahan hancur melebur menjadi tunggal..hingga hampa...,
bersama kita lenyap dan sunyi..
lara, jeritan hingga meregang kita dalam bingkai yang mungkin itulah ‘kehidupan’.. aku tak tahu...
Hingga tersesat dalam belantara keangkuhan akan nama juga rupa...
Akankah kau mengenal diriku..
Juga aku mengenalkah dengan kalian..
Hingga celotehan murka dari jiwa kita yang murka:
Ya... sabda dan fatwa telah kita ucapkan...
Wadah, kaidah, bahkan aqidah.. telah dimainkan..
Hanya ingin tahu tiada kasih selain cinta...
Dan tiada jalinan selain persahabatan..
Walau ragam-meragam 'tlah tercipta dan dicipta..
Meski tak terhingga rasa menjadi pembeda...
Kelakkah ‘kan bertemu juga...?

Kawan, raga kita 'tlah terpisah...
Memadukah dalam satu..?
Meniadakan, jika hanya jiwa...

Mungkin inilah yang walau ‘tuk dikenang..dan sengaja kucuri..
serasa telah kutitipkan dan tersisip di sela-sela mentari dan bulan..,
yang kelak ‘kan berbisik saat kujumpai kalian dan kalian menjumpaiku..
Mungkinkah, persahabatan adalah ‘Siggasana.. Bertahta...Cinta...’?
hingga jiwa kita terpecah oleh senadung sederhana...
FANA...

Thanks kawan...
Yogyakarta, 23 April 2011..

*dibaca saat deklarasi GPP (Gerakan Pemuda Progresif)
Baca Selengkapnya...

Catatan Malam di Pegunungan

Kususuri jalan setapak itu..
Hingga tubuh berpeluh, di belukar beluntas melangkah terseok berliku..
Terjal mendaki.. hingga sang malam sampai di penjuru...
Desiran angin sesekali menerpa tubuh ringkihku...
Hingga kepuasan tiada bertara hadir menyemai hadirkan diriku

Ah.. , keasyikkanku dalam cengkrama dengan alam..
Bergelora, kupertaruhkan jiwaku akan kegersangan dengan sang pencinta..
Bertahan berdiri memandang gemintang yang tampak terserak...
Hingga kuedarkan pandangku ke segala penjuru


Gairahku bergelora... tampak menghadirkan sang pencinta....
Ingin kesematkan cintaku pada sang pencinta, dan aku tahu sang pencinta tetaplah dia...
hingga teriak memekak.. ku ingin bergumul mesra dengannya...
Tapi tetap aku tak juga bercinta..

Dan, aku masih bertahan berdiri di atas bukit..
demi merasakan ketakjuban belaian mesra sang angin.., keindahan alam

Kulahap mesra sang alam yang hadir dengan segenap inderaku...
Keindahan alam begitu membuai.. hingga tak terpejam mataku...
Tak tergambarkan indahnya oleh senandungku...
Permadani, hingga gemintang pun serasa tersenyum akan kehadiranku..
Jelas kulihat langkah sang angin membias dengan cahaya rembulan... hingga bergelayut mesra melintasiku... semilirnya pun tak ragu-ragu membelai.. tubuhku

Aku terus berteriak dan berteriak...ingin suaraku itu bersekutu dengan gemuruh sang bayu yang kerap menerpaku...
Sontak, aku tercekat dalam diam...
Entah apa yang diam-diam mengubur gemulainya alunanku...
Hingga mulutku terbungkam dan suaraku lenyap tersekat...
Membisu lagi dalam senandungku...
Padahal masih banyak yang ingin kusampaikan...
Masih banyak yang ingin kuutarakan..
Masih kudekap rindu melagukan nyanyian...
Tapi, mungkinkah rembulan itu yang merenggut suaraku...?

Wahai sang pencinta,
Masihkah aku mampu menjamah-Mu...?

Bukit Kelir, 22 Mei 2011
Baca Selengkapnya...

KISAHKU

Kisahku, mengendap dalam ratap lunglai langkahku di hadapmu..
kujamah dan kurasa dalam nikmat menggebu..
juga rasa mengharu iba yang menggejolak tak tentu
Setiap kisah yang ku eja lewat penamu..
menghadirkan diriku dalam kosong hampa tanpa ruang..
hingga syair-syair berkeliaran timbul tenggelam melalui celah gemulai langkah jemariku
Semarak cerita yang tak berturut... hinggap di tonggak keangkuhanku meninggalkan jejak-jejak yang sejenak terhapus oleh rerintik hujan
Merona, tak sadar aku telah kasmaran dalam cintamu yang menembus mendung

Di kisahku, aku menjamah ketakjuban akan pesonamu dalam bingkai senandung sederhana yang membalut dengan aroma bunga yang masih basah oleh embun...
hingga kulangkahkan lagi demi memberikan jejak yang semoga membekas dalam jelajah goresanku...
walau tak semerdu akhir sebuah cerita, ingin kunikmati sajak-sajak kehidupan .., nyanyian-nyayian yang terserak di kolong derapmu.. yang mengalun tak ragu..
hingga suara-suara itu menyusut dalam gelap..
dan heningnya perlahan mengendap dalam rengkuhmu, menyisakan dirimu dan diriku..

Entah, mungkin kehadiranmu dalam kisahku tak sekedar kisah..
sesaat saja kau pasti menjemputku hingga ronaku itu meredup..
lelap

Alkisah,kutulis di samping sajadah yang terbaring lunglai..
Yogyakarta, 7 Mei 2011
Baca Selengkapnya...

Galeri Sangu Modar*

Edan..., modal-ngeri...
Sedan, solar, sodari segar (saru), galang sang adik gak segan....(moga-lagi)
Sedang SDngeri-->SMAngeri modale galau, alang-alang ..(moga-laku), malang... gan..

Eala-he..., oalah-iku galeri sangu modar...??? (galak)
gak.. sadar....., salah-iku...???

Sadari sedari MALARI...
=ogah-nek gadai modal-negeriku...


Jogja, 27 April 2010

Matur tengkyu kagem : Devisa Saputra / Penulis Antologi Puisi: Semoga adalah Negeriku

*Puisi yang kubuat dengan kata-kata yang merupakan singkatan-singkatan dari 'SEMOGA ADALAH NEGERIKU'
Baca Selengkapnya...

RITUAL

Gelombang hening berkeliaran di singgasanaku kini....
Sementara lalat lalat beterbangan kian kemari sembari terus bernyanyi...
Entah apa yang dinyanyikan oleh lalat-lalat kecil yang terbang mengitari lampu redup di atas kepalaku.... yang tampak menikmati bau pekat di dalam ruangan menyedihkan ini bersama-sama....
“Wew.. ada barang baru...”otakku coba menebak

Kucoba sebaik mungkin untuk meningkatkan kenyamanan yang membuai di antara gemuruh luruh lututku....

Sepoi angin menerobos melalui ventilasi menyebarkan rasa kantuk berkali-kali....
Api rokok terpejam dan menyala mengikuti irama denyut jantung. Samarnya suara tikus yang mencicit jauh di sana, menambah sempurnanya suasana tenang yang mengiringi parade ritual sakit perut yang kualami.

Dalam situasi sekarang, aku adalah tipe orang yang hanya bisa menunggu, walau bagaimanapun juga aku berusaha memikirkan suara apa yang akan muncul dan dapat memecahkan keheningan yang mengganggu ini.

Ah... “plung”..
kau dengarkah suara merdu itu?

Sunyi....

Dinihari yang menyepi...
April 2010
Baca Selengkapnya...

BERSENANGLAH KAWAN

Gemericik air yang mengalir dari selokan samping dapur
Tempatku bercengkrama bersama anak-anak itu
Serasa suara hujan yang tercurah dari langit
Di hadapan bocah-bocah itu kumulai ceritaku
Terserah, mengalir begitu saja dari mulutku
Yang penting mereka senang fikirku


Kuhisap rokokku di tengah kekeh mereka akan ceritaku
Memang itu yang kuingini dari mereka
Keceriaan
Kegembiraan
Kesenangan
Juga kemerdekaan
Tanpa ada larangan untuk tertawa
Tanpa berbatas usia
Tiada kedudukan lebih tinggi
Hanya di emperan teras dapur pengungsian....

Aku hanya menginginkan kesenangan bagi mereka
Kemerdekaan akan saling mencintai
Tanpa nafsu jabatan
Tanpa syahwat politik
Tanpa birahi kekuasaan..

Hanya sebuah catatan.. di tengah pengungsian...
Gondowangi, 1 Desember 2010
Baca Selengkapnya...

MENANTI MENTARI

Kunanti sinarmu
Tapi senja baru saja pergi
Juga hari tadi tak kutemukan sang mentari yang menyinari
Malu ia unjuk diri

Sementara lampu jalanan mulai menyala
Cahayanya yang pias beradu dengan cahaya lain
Menyinar mereka ke segala penjuru
Tapi bukan itu yang kurindu

Aku merindukan mentari yang selalu menjanjikan harapan
Tapi pagi hingga beranjak sore tadi ia selalu bersembunyi di balik awan
Selubung gelap sang awan selalu dan selalu menyelimuti
Hingga hampir pupus harapanku akan sinar mentari

Kapankah ia bersinar lagi
Aku mengharap sinarmu
Bukan kabut kelabu yang kumau
Ayo mentari bersinar lagi

Hanya sebuah catatan di pengungsian...
Gondowangi, 02 Desember 2010
Baca Selengkapnya...

MERINDUMU

Senja di ujung duka...
Ku coba menikmati mengalirnya cahaya...
Bercengkrama, membuka topeng segala masa...
Bebaskan pundakku dari kesombongan...
Bercermin menghapus lara....

Cahaya pias menaburi malam...
Angin meredup menggeliat resah...
Alam raya, pasrah dengan segala kehendakMu...
Bergerak bagai gelombang memecah syahdu...
Beribu hambaMu bernyanyi rindu memecah langit...
Indahnya sang rembulan menggoda tafakur dalam rebahku...

Sungguh, dalam kehadiranMu...
Serasa mendera segala keraguaku...
Menghardik pilu kalbuku...

Rabb, Jiwaku sujud mengerdil di hadapMu...
Hatiku tunduk pada Mu...
Merindu cahayaMu menerangi kelamku...

Yogyakarta, April 2011
Baca Selengkapnya...

Negeri Petaka

Melihat negeri angkuh yang menggejolak
Awan gelap beriring menyeruak
Segala tangis teriak memekak
Hati hanya menggerutu terlontak

Negeri itu dibangun oleh hati yang tak bisa merasa
Negeri itu dibangun oleh otak yang tak bisa bergerak
Negeri itu dibangun oleh keringat mereka yang tak pernah bisa memegang cangkul
Negeri itu gelap karena meraka yang membuta

Awan gelap bergulung menggelisah
Angin berhembus bawa kabar duka
Alam bawa kisah meresah
Lolongan anjing membawa jerit derita
Gemuruh petaka terus melanda
Ya, negeri petaka
Yogyakarta,17-1-2011
Baca Selengkapnya...
 

Copyright © sastra bocah lali omah