Akhir Sebuah Cerita

Entah bagaimana aku harus mengakhirinya. Setelah sekian lama aku menuliskan rangkaian cerita di atas lembaran buram hidupku dengan tinta yang sesekali harus kutimpa dengan tambalan-tambalan yang pastinya berbekas.Terlalu banyak coretan-coretan yang tak bisa kuhindari untuk selalu memunculkan memori-memori menyedihkan. Akupun tak terlalu berharap untuk mendapatkan tinta emas yang nantinya kan kutulis segala keindahan-keindahan di lembar akhir cerita. Sudah terlalu banyak catatan catatan orang yang kubaca dan pasti berakhir dengan keindahan ataupun kebahagiaan. Derita di awalnya dan bahagia di akhirnya. Kau pasti mengharapkan yang demikian. Tapi tidak dengan aku, tidak ada ruginya jika aku menambah satu lagi cerita penderitaan di bumi ini.


“Ma, di mana bapak?” rengekmu. Rengek bocah tiga tahun. lembut kau bicara padaku dengan senyummu yang kurasa sebagai sebuah cibiran padaku. Ya ... senyuman itu juga yang telah menghantarku sampai di tempat ini.

Aku tak juga menjawab pertanyaanmu. Mungkin kau mengharap belas kasihku. Tidak! Meski senyummu itu masih ada di bibirmu, aku tak akan melayani keinginanmu. Kubelai rambutmu, dengan sedikit paksaan senyuman yang seakan berusaha menyenangkanmu. Tapi, jauh di lubuk hatiku aku masih memendam bara yang lambat laun pasti akan menjadi kobaran api yang turut pula membakar hatimu.

Mungkinkah senyuman itu dapat mengakhiri cerita.
Ah....... akhir sebuah cerita tak selamanya indah.

“Tidur nak, sudah larut” pintaku dengan sedikit senyuman.
Seperti biasa kau tampak menuruti pintaku, dan segera kau pejamkan mata mu. Aku yakin kaupun tak segera tertidur, hanya sandiwara mu saja dan berharap aku mengira dirimu sudah terlelap dalam buaian mimpi. Dan seperti biasa juga aku akan segera meninggalkan dirimu. Dengan berat tetap aku meninggalkanmu. Aku yakin kau pasti mendengar langkahku, ekor mata mu pun akan mengikuti langkahku . masih dengan penuh sandiwara aku pun berpura-pura-menganggap dirimu sudah terlelap, karena itu juga yang kau harapkan. Aku tahu kau akan bangkit dari baringmu dan menatap langkahku di kejauhan dengan penuh dendam. Aku yakin kau ingin mengejarku. Tapi kau tetap diam. Ah.. sandiwaraku pasti yang lebih meyakinkan.


Yogyakarta, Feb 2010
Baca Selengkapnya...

Senandung Rindu

Adik kecilku….
Celoteh ringan di bibirmu….
Sungging di senyummu....
Kembali membayang di pikiranku….
Rengek manja hingga tawa renyah itu bermain di pelupukku…
Kicaumu di telingaku menyeruak syahdu….
Nyanyianmu membelai rindu bergebu..
Gelisahku akan gemulai gelayutmu di pangkuanku…
Ah…. masa itu…
Manisku..
Jauh ku darimu, tak berjangkau belaian dariku…
Aku rindu membelaimu…
Menggendongmu…
Menuntunmu…
mengajarimu…
Bersenandung ria denganmu...
Melepas rindu hingga berlalu…

Manja gemulai lincahmu…
Terbayang masa itu, kita di atas perahu…
Berteman riak-riak yang menggelombang kecil hingga ke tepian...
Tertancap di anganku nyanyian renyah berderu angin lalu kala perahu yang lain melintas berlalu….
Ah…… tak hambar bila rengekmu masih ada di mataku…
Masa itu … desir angin pagi yang dingin menusuk kulit tampak menghempaskan embun-embun di dedaunan….
Pemandangan nyata kekraban alam, anugerah_Nya…
Hingga menelanjangi kantukku….
Suara air yang menghempas perahu hingga desiran angin yang berteman dengan kicaumu seakan nyanyian rindu yang berkelebat di otakku…
Berteman semilir yang menerpa hamparan hijau serasa sejukkan alam jiwa…
Teriak di mungil bibirmu berpadu dengan nyanyian alam di pagi itu…
hingga hadirkan senyum di bibirku…
Ah…… Senandung Rinduku…

kupersembahkan untuk adikku, rees_fa
Yogyakarta, Senin 11 Juli 2010
Baca Selengkapnya...

Kota Sakit*

Di sini, di kota ini kita masih bisa bernyanyi segala rupa
kita masih bisa berteriak serak memecah sunyi tak ber-apa
tak hingga membahana segala bunyi, tak serupa
melantang menantang segala siapa

Mendahaga kering kerongkongan
makian menyeruak nyanyian pinggir jalan
melangkah bersinggah tak berkendaraan
meluap dianggap recehan dan puntungan

Di sini, di kota ini kita mengumpulkan segala penyakit
membatas diri tak menghindar sakit
begumul hingga menahun membukit
dan kita terduduk diam tak bertopang bangkit

Berjongkok ria kita di hadapan hamparan usang
Mengharu iba mencari keturunan berkedudukan lapang
mengumpulkan kepul berharap berbintang
hitam mendaur-daur ulang hingga meng-kerontang

Selangkah berhadapan dengan dunia
angkuh mendunia berbangga berpamer belaka
segala rupa menipu dengan nyata
berteman nyanyian tak berjiwa

Bersenandung dengkur penggali kubur
menggelapkan segala bias kabur
menyelusupkan gemulai tari sang penghibur
menggersang di atas pulau subur

Di kota sakit kita tak lagi senyap
bertumpah sumpah, berserapah hingga meluap
sesaat tak berpelita di tengah gelap
hingga sunyi sang penyuara tak bersuara, lelap.

*KOmuniTAs SAstra Kopi pahIT
Yogyakarta, 2 Juli 2010
Baca Selengkapnya...
 

Copyright © sastra bocah lali omah