Cerpen: Kekasih untuk Malam

Lelaki  itu menatap kosong ke angkasa menembus awan. Disapanya  alam  yang tampak akrab di sore nan cerah itu. Dedaunan melambai-lambai lembut. Sementara angin sepoi-sepoi berhembus melenakan mata. Burung-burung pun tak mau ketinggalan memeriahkan suasana. Seperti mengejar mentari, berduyun- duyun mereka terbang ke barat. Karenanya jualah  hari  mengabarkan mentari segera permisi.

Tapi keakraban di sore itu tak dapat menutupi kegelisahan hati lelaki itu. Dari raut mukanya terlihat jelas kegundahan yang merayap di hatinya. Tatapan matanya  penuh selidik. Seringai muka dari wajahnya menjelma saat sang senja menyapa,  Ia begitu iri dengan mega-mega yang berarak mengiringi kehadiran senja. Namun senja yang memang dinantinya hanya tersenyum penuh keramahan menyambut kehadiran lelaki itu. Tanpa seperti dipaksakan sang senja yang tampak begitu anggun di sore itu menyapa lelaki berambut ikal yang tetap saja termangu menatapnya.

“Ada apa kau menemuiku?” senja mengawali pertemuan itu dengan pertanyaan penuh senyuman.

Lelaki itu hanya tersenyum seakan dengan senyum cukuplah sebagai jawaban baginya.   Ditariknya nafas dalam-dalam dan dihembuskannya perlahan.Udara yang dihirupnya turut terengah-engah mengiringi degup di dada, sedang matanya ke langit menatap siluet senja yang melukiskan hari beranjak malam. Tatapannya  tajam menerobos jauh membelah udara menembus gumpalan awan putih di ufuk barat yang memerah. Pandangannya seibarat anak  panah yang terlepas dari busurnya, begitu cepat tapi tak pernah sampai pada titik tertentu.

“Ada apa, cerita saja…” kembali senja bertanya.

Dia hanya kembali menatap senja lalu diam. Dipaksanya kembali untuk tersenyum tapi begitu jelek rupanya senyum itu  kala bercermin dengan beningnya awan senja. Ia merasa merasa kikuk di hadapan senja.

“Cobalah kau lihat mentari itu, ia tak akan menjadi indah tanpa kehadiranku” ucap  senja sembari memandang  mentari . Lelaki itu pun menolehkan pandangannya ke arah mentari.

 “Ia, justru itu aku semakin iri denganmu, juga dengan mentari” timpal lelaki itu. Gumamnya meluncur dari bibirnya.

Waktu pun seperti berhenti mendengar suara lelaki itu. Senja tampak termangu begitu mendengar kalimat yang keluar dari mulut lelaki itu. Pikirannya menerawang jauh, mengingat memori yang telah lalu, dan ia sadar kalau lelaki itu pernah sangat mencintainya. Cepat-cepat dipalingkannya muka ke arah lelaki itu. Meraka pun sama-sama diam. Hanya suara agin yang terdengar asyik bercumbu dengan reranting pohon.
 
“Kalian begitu serasi” lanjut lelaki itu. Seperti memendam amarah ia bicara, terdengar berat suara yang keluar dari mulutnya. Senja hanya menoleh ke arahnya, ia tersenyum begitu mendengarnya.

“Kamu kenapa..? Tak perlulah kau iri padaku.. juga pada mentari,” senja tampak masih tersenyum dan menatap lelaki itu lekat-lekat “Kalau memang kau iri, cerita saja kenapa? Aku juga tak pernah menyangkal kita pernah saling mencintai.”

 “Ya, kita dulu pernah saling mencintai.” Lelaki itu berhenti sejenak dengan gumamnya. Matanya menerawang jauh menembus cakrawala. Ditelannya ludah yang menggumpal di ronga mulutnya. “Aku takkan pernah lupa, tapi aku tak mau mengulanginya” lanjutnya.

“Terus maumu apa? Bicaralah... aku tak cukup punya banyak waktu…”

“Aku begitu cemburu padamu, dan aku sadar kini tak ada lagi yang menghalangi cintamu dengan mentari.”

“Apakah kau masih mencintaiku?” tanya sang senja.

“Tidak, sudah sejak lama aku tak pernah lagi bisa mencintaimu” jawab lelaki itu. Ia menoleh sejenak ke arah mentari,  “Mungkin aku hanya iri. Dirimu adalah dirimu, senja. Kau ada karena Tuhan menciptakan mentari, dan aku dapat merasakan betapa indahnya cinta yang kalian bangun bersama. Bahkan orang-orang selalu menanti kehadiran kalian, menanti cerita apa yang kalian bawa.”

“Ia, lalu masalahmu apa? Katakan saja, mungkin aku bisa membantu”

“Aku jatuh cinta.”

Sang senja tampak terkejut mendengar ucapan lelaki itu. “Hahaha..., selamat!!!.,”  senja tertawa, meski hanya berusaha menutupi keterkejutannya, “Akhirnya  setelah sekian lama, kau bisa merasakan cinta. Siapa yang sudah menawan hatimu itu?”

“Malam, dialah yang begitu memikat hatiku”

“Benarkah?“

“Ya”

“Owh, jadi, selama ini kau bersembunyi dariku, kau tengah merajut kasih dengan malam!! Ya ya…ya, selamat!”

“Tidak!!, Mungkin  ini hanya cinta sepihak, aku masih belum bisa bicara padanya. Bahkan yang kudapati aku tak mampu menggerakan bibir  di hadapannya, meski hatiku terus meronta-ronta. Betapa keras getar yang kurasa ketika menatapnya, entah pesona apa aku tak tahu, yang jelas dia begitu mempesona di pandanganku”

“Segitunya?”

“Ya, aku tak bermaksud melebih-lebihkannya, apalagi sekedar membuatmu cemburu. Aku hanya ingin mengungkapkan perasaanku tentangnya...” lelaki itu mulai tersenyum. Senja hanya tertawa kecil mendengar kata-kata yang meluncur dari lelaki itu,“Bantulah aku untuk merayunya, aku tak mampu berucap barang sekata di hadapannya. Ia begitu anggun” lelaki itu memelas penuh harap.

 “Aku tak bisa” jawab senja.

“Kenapa tak bisa? Bukankah kau berjanji akan membantuku?”

“Aku benar-benar tak bisa kalau itu permasalahanmu, tapi bukan pula aku menaruh cemburu,”.
 
“Lalu apa, kalau kau memang tak lagi menaruh cemburu di hatimu?”

 “Aku tak bisa, entah mugkin inilah takdirku.. “.

“Takdir apa?” tampak sinis lelaki itu bertanya.

“Aku hadir hanya bisa sebatas di perbatasan. Bukankah kau tahu.. tidak setiap waktu kau bisa menemuiku…??”  Senja kembali terdiam, ia merasa tersudut. Tiba-tiba tatapannya menjadi redup, diliriknya mentari yang perlahan-lahan beringsut dari duduknya. “Kau ingat waktu itu, saat kita masih saling mencintai dulu, saat kau tengah asyik mencumbuku, si mentari pergi.. dan aku tak bisa meninggalkannya. Aku ingat ia masih sempat mengintip kemesraan kita kala itu.. dan ia pun berlalu. Waktu itu aku tak bisa berlama-lama denganmu… bukan aku tak menikmati, tapi aku harus peduli pada mentari. Tanpanya aku tak ada… meskipun aku tak kuasa ketika mendung kelabu menyelimutinya…”

Lelaki itu diam mendengar alasan yang dilontarkan senja. Sementara sang senja pun semakin redup seiring mentari yang semakin menghilang ditelan temaram.

“Maaf, aku tak bisa membantumu” ucap sang senja lirih sembari berlalu menyusul mentari yang sudah  terlebih dulu meninggalkannya.

Lelaki itu hanya termangu di perbatasan siang dan malam yang semakin sempit itu. Menengadah ia sembari matanya menatap tajam-tajam ke langit yang semakin suram.
***


Suara hujan begitu bergemuruh di luar sana. Semilir angin masuk melalui celah ventilasi menebarkan dingin hingga ke sudut-sudut ruangan. Di ruangan yang hanya diterangi lampu neon redup, lelaki itu tampak  bertelanjang dada seakan menantang hawa dingin dari hujan yang terbawa angin. Dibiarkannya saja  tusukan-tusukan angin itu menembus pori-pori. Sembari terus bermenung disulutnya sebatang kretek dan  dihisapnya perlahan.  Sesekali ia menoleh ke  jendela. Terlihat tetes-tetes hujan berkilauan  terkena cahaya lampu yang menerobos keluar melalu celah jendela yang sedikit terbuka. Kelam  pun bersambut hujan.

Perlahan ia berbaring, tampak serangga-serangga  kecil beterbangan mengitari lampu di atas kepalanya. Dilihatnya serangga-serangga  itu terus menari dan bercumbu tanpa malu-malu. Entah, kenapa  di sudut ruangan yang begitu mencekam itu  ia harus memendam rasa rindu. Pandangannya pun kembali ke jendela. Diintipnya kegelapan yang menyelimuti malam… seperti iri ia menggumam “ Wahai kegelapan, kenapa kau mencuri malamku..? Padahal sudah bertahun aku merindunya…??”.

Dalam sendiri hanya berteman hujan, lelaki itu berbisik dan terus berbisik. Sementara hujan senada orkestra yang mengiringi lirih suaranya. “Malam, Entah ada apa denganku saat ini, sehingga yang ada di benakku hanyalah dirimu. Rinai hujan, dan dinginnya angin yang berhembus semakin membuat perasaan ini hanyut ke mana-mana. Entah jika tiba-tiba ombak mendamparkan perasaan itu di sisimu...” terdengar begitu lirih suara itu.Dalam mangu lelaki itu kembali terpaku. Dilihatnya jendela yang terbuka dan tertutup dihempas-hempaskan angin. Sementara halilintar sesekali terdengar menggelegar.

“Lembaran memori usang telah hangus terbakar emosi. Dan lembaran baru ingin kutulis bersamamu. Dan percayalah masih ada lembaran itu dan akan menuliskan namamu juga wajahmu, dan ada kisah tentang kita” ucap lelaki itu sembari tangannya menepuk dada.

Meskipun begitu, malam mungkin masih diam, entah gerutu entah apa ia selalu begitu.  Diiringi ratapan hujan yang syahdu, masih saja akrab terdengar suara dari lelaki itu.

“Entah siapa yang melukismu saat ini, karena aku ingin sekali melihatmu  walau langit dipenuhi awan hitam dan jatuhan hujan, kucoba merengkuh imaji yang di dalamnya hanya ada kisah cinta yang setiap adegannya  adalah kau dan aku. Ada tawa, senyum ramahmu, ada celotehku tentang dirimu dan segalanya tentang kita” lelaki itu bicara sembari menatap ke jendela.

“Biarlah kulukis sebuah senyum di antara langit dan hujan, tapi entahlah, bagaimana... dengan apa melukismu aku tak tahu. Entah jika tiba-tiba kau bawakan aku kanvas untuk menampung air mataku...”

Lelaki itu terus merapal cerita tentang cintanya. Tak disadarinya waktu pun beranjak pagi. Sementara jendala yang hanya ada satu-satunya tampak terbuka setelah dihempas-hempaskan angin yang mengiringi hujan.

Angin pun tiba-tiba berhenti berhembus. Perlahan-lahan-lahan menyusut menyisakan sepoi kecil menerpa gendang telinga sang lelaki. Didengarnya suara bisikan dari angin "Cepatlah.., cepat katakan.. aku sedang menahan hujan agar malam mendengarmu".

Mendengar bisikan di telinganya, Lelaki itu bangkit dari baringnya. Kepalanya mendongak keluar melalui jendela. Dikumpulkannya nyali dan segala kekuatan yang masih menyisa di dirinya. Di tengah gulita dalam tatapannya, ia berteriak dengan suara yang begitu lantangnya.

“Malaaaaaaaaammm....., cukuplah kau jadi malamku saja.....” seperti memecah sunyi, suaranya menggema berkali-kali.

Malam pun tercekat.  Ia menoleh ke arah suara itu berasal, tapi dia hanya diam. Entah mungkin ia belum sadar dari keterkejutannya.

“Aku mecintaimu..., sungguh.. bahkan aku tak rela lelap mencuri hatiku” Lelaki itu masih berteriak tapi tak selantang tadi. Ia tahu sang malam menoleh ke arahnya.

“Ah.. sudahlah.., buat apa kau bicara seperti itu, aku tak pantas untuk kau cintai..” tiba-tiba  terdengar suara dari malam yang terasa begitu berat.

“Malam, tak tahukah kau kalau selama ini aku begitu ingin mendengar suaramu? Ya, aku mendengarmu kini...tapi... tapi… ah…”

 “Aku tetaplah aku, buat apa memujiku.. tak sadarkah kau, hanya sang gelap yang bisa merajut setia denganku, dialah yang selalu menghantarkan rindunya padaku. ketika aku merangkak bersama kegelapan sebagian besar dari kalian tak merasa cemburu..bahkan sudah terlelap tak lagi memujiku. Untuk apa”?

“Tapi malam, rasa cinta ini begitu besar.. dan begitu lamanya terpendam di hatiku. Aku ingin kau tahu itu..” kata lelaki itu penuh harap.

“Aku bukan tak tahu kau begitu memuji dan mengagumiku. Bahkan dalam tafakurmu aku tahu kau selalu menyebut-nyebut namaku. Tapi maaf, berhentilah mencintaiku. Karena ada sosok yang begitu bahkan  sangat aku cintai, dialah kegelapan, meski aku kerap berselingkuh dengan rembulan dan bintang. Kau tak perlu cemburu.. dan tak perlulah kau selalu berharap padaku. Karena aku sudah bertekad menjaga cintaku dengannya.” malam tampak berhenti sejenak bicara. Disadarinya hujan kini sudah benar-benar berhenti.

Dengan penuh kesinisan, malam pun melanjutkan bicaranya, “Terima kasih sudah mencintaiku. O..ya,  berhentilah berteriak seperti itu nanti pujaan hatiku cemburu. Tapi kalau sebatas gumam.. itu terserah dirimu saja... mungkin akan kujadikan kata-kata cinta untuknya. Terimakasih.., permisi.”  Tanpa menunggu tanggapan dari lelaki itu, malam pun pergi.

Lelaki itu hanya terpaku mendengar ejekan sang malam. Ia semakin merasa dirinya memang benar-benar pecundang. Ia pun kembali berbaring memeluk sepi. Dihelanya nafas berkali-kali. Sayup masih terngiang di telinganya perkataan sang malam.

Hari pun bersambut pagi. Tapi lelaki itu tak juga menjemput mimpi, ditahannya kantuk yang menyerang berkali-kali. Ulah nakal embun yang coba mengangkangi pagi, tak juga membawanya bercengkrama dengan mimpi atau bersenandung dengkur menghibur diri.  Dibiarkannya angin yang membawa dingin sisa hujan semalam menyambanginya. Lelaki itu hanya mendekap gerimis dalam pelukannya.

“Malam, jika memang kegelapan begitu mencintaimu.. renggutlah gulita di hatiku..”

 Alam seperti diam dan mengamini bisikan lirih lelaki itu. Angin tampak termangu, reranting berhenti berderak dan turut  membisu. Kunang-kunang yang tengah bercumbu di balik pekat pun ikut terpaku. Sementara dari balik ventilasi sang pagi sumringah tersenyum ramah.

Pangkalpinang, 02-02-2012

2 komentar:

Muhammad Syarif Ridho mengatakan...

salam kenal,,,
www.sastraku-diriku.blogspot.com

wins mengatakan...

salam juga om.., makasih kunjungannya..

Posting Komentar

 

Copyright © sastra bocah lali omah