LYLA : JABLAY PASTI BERLALU

“Bagaimana kau bisa yakin kalau dia itu belahan jiwamu?” tanya Awi.

“Nggak mungkin. Dari matanya aku tahu, dia inginkan aku. Kemarin di warung ini dia berdiri di sampingku. Tangannya pura-pura memijit kepala, tapi ekor matanya selalu mengintipku, mencari-cari mataku dan sorotan matanya itu ingin merenggut hatiku..” aku mencoba meyakinkan Awi. Kuambil rokok yang terselip di telingaku dan membakarnya.

“Dari mana kau bisa tahu kalau dia itu ingin merenggut hatimu?”


“Ah kau ini, dari matanyalah...” Kuhisap rokokku dalam-dalam.

Awi tertawa lebar-lebar. Giginya yang kuning kerat nikotin anti gosok bermunculan dari mulutnya.. kekehnya bukan saja menertawakan kejengkelanku, tapi lebih dari itu, tawa seorang jomblo melihat kawannya hampir kehilangan jatidiri ‘kejombloan’nya.

Aku dan Awi memang tak seberuntung kawan-kawan yang lain, yang sudah punya tambatan hati dan beberapa diantaranya sudah menikah. Aku sepenuhnya tidak merasa tampan dan pantas untuk perempuan itu. Malam itu dia datang entah dari mana aku tidak tahu. Setelah aku menyanyikan lagunya Chrisye ‘ Badai Pasti Berlalu’ yang didaur ulang oleh Ari Lasso. Dari dekat dia memandangku dengan sedikit terenyum. Ohh... jantung seakan berhenti berdetak melihat senyumnya. Rupawan (mestinya rupawati..) sekali wanita ini. Kutelan air ludahku beberapakali. Wanita itu seperti menghadirkan momen baru dalam hidupku.

Sudah cukup lama aku ‘jablay’. Sejak aku menginjak kota ini. Pikiranku menerawang jauh. Empat tahun sudah berlalu dan empat tahun sudah aku meninggalkan kampung halaman yang indah. Tak terasa waktu semakin jauh meninggalkan seribu kenangan, baik yang untuk dikenang maupun tidak, atau juga tak terkenang. Namun yang pasti waktu terus berjalan tanpa kita menyadarinya dan berlalu begitu saja. Waktu pun menyimpan misteri di dalamnya. Aku hanya menjalani hidup ini apa adanya. Susah senang hanyalah dinamika semata dan itu indah silih berganti. Ada proses di dalamnya. Aku adalah manusia yang manggali hidup, mewarnai hidup dan kehidupan orang-orang yang mencintaiku, menyayangiku, dan juga membenciku. Aku hanya menggali hidup dan makna kehidupan itu. Beberapa babak kehidupan telah kulalui.

Tapi apalah arti hidup, tanpa cinta? Apa jadinya jika manusia tidak mengenal cinta ? Temaram pikiran menyeruak rasa, ketenangan jiwa mulai pudar, lenyap. Sejarah manusia tak berhingga kini. Dunia yang katanya diperuntukkan oleh dan sebab cinta menjadi penuh dan tenggelam akibat cinta. Ya, hidup tanpa cinta bagai malam tak berbintang, kata orang. Entah apa dunia ini tercipta dari tanah atau cinta. Aku hanya merasakan kegersangan dan paceklik berkepanjangan. Jomblowan juga manusia. Kini saatnya membuka babak baru. Aku harus mengakhiri masa pacekik itu. Aku harus segera mengganti statusku dari seorang jomblo menjadi..........

“Hai...”. Awi mengejutkan lamunanku. “Bagaimana caramu mengikat hatinya?”


“Entahlah... mungkin pakai jampi-jampi........”. Aku nyengir sambil tanganku mengambil Ha-Pe di kantong celanaku.

Awi tertawa lebih keras dari tadi. Pemilik warung memandang sebentar. Kemudian melanjutkan pekerjaannya. Empat orang yang sedang asik berbincang di sebelah sudut yang lain tetap melanjutkan pekerjaanya. Aku dengar kata-kata putus dari mereka “jam delapan “ “ sip” “perempatan” “spanduk”.....

“Kamu tahu nggak alasan dia jatuh cinta sama aku?”

“Mana aku tahu...., kamu yang punya firasat”

“Itulah Firasat, tidak membawa alasan, begitu juga halnya dengan cinta, cinta itu pun tak bisa ditebak.”

“Kamu kayak ABG yang lagi puber aja. Cinta itu tidak datang dengan ini” dia menuding kepalanya sendiri, “ini” dengan tangan terkepal sembari menepuk dadanya sendiri, “dan juga ini” dia menepuk saku celananya yang menyimpan dompet, “jadi bukan sekedar firasat”.

Ah, sok tahu pikirku. Pusing rasanya bicara dengan orang yang tidak memahami kondisi apa yamg meng-kondisikan diriku saat ini. Tapi setidaknya dia tidak terlalu meremehkan perasaanku.tapi bukankah dia sendiri masih jomblo..?. Pasti tak pernah dapat belaian. Aku nyengir sendiri.

“Hidup pun demikian, tapi kau jangan menurut saja demikian. Firasat terkadang datang, tapi engkau jangan pernah takut bila harus mengusirnya. Demikian juga dengan kewajiban. Ah... siapasih yang benar-benar suka dengan kewajiban? Semestinya tak perlu ada kewajiban dalam hidup ini. Yang perlu ada hanyalah kebutuhan.. ya.... kebutuhan.........” cerocos Awi tampak serius.

Kusodorkan rokok di jariku. “Join” kataku. Dia mengambil rokok di jariku, dihisapnya rokok itu dalam-dalam.

“Berarti kita jomblo kayak gini karena nggak butuh perempuan maksudmu!”

“Jomblonya kita ini bukan karena pilihan, dan bukan karena nggak butuh, tapi memang belum ada aja cewek yang beruntung mendapatkan kita” kata Awi. Dia tertawa lepas, aku pun ikut tertawa.

Terdengar azan maghrib dari Musholla tak jauh dari warung kopi tempat kami nongkrong. Kusarankan dia agar membersihkan Pikirannya yang sedang ‘tidak sehat’ di musholla itu.” Kau tidak lebih alim dariku” timpalnya.

Beberapa pemuda melintas di jalan depan warung. Menuju musholla tampaknya. Salah seorang menoleh sejenak ke arah kami sembari mengangguk seakan ingin mengajak kami ke musholla itu. Kami tak bereaksi. Pemuda itu melanjutkan langkahnya.

***

Malam sudah agak larut. Aku hanya ditemani sepi. Tak ada suara jangkrik, cicak, tukang jual nasi goreng nasi keliling, ataupun suara-suara lainnya. Hanya lolongan anjing sesekali terdengar sayup-sayup di kejauhan. Aku tak bisa tidur, hanya baring-baring di dipan. Kutatap langit-langit kamarku. Muncul bayangan-bayangan dari situ. Bayangan-bayangan itu terus berubah-ubah dan terus berubah. Dari kecil kemudian membesar. Dari seekor cicak tiba-tiba menjadi seekor buaya dan terus berubah menjadi bayangan lain. Muncul bayangan masjid, kemudian berubah jadi sajadah..dan tiba-tiba dari balik sajadah itu muncul sesosok perempuan. Aku ingat bukankah dia perempuan yang kutemui di warung itu....!!? Ah, aku belum berkenalan dengannya.

Perempuan itu sudah berdiri di hadapanku, dia membelai-belai rambut ku yang memang agak gondrong dengan lembut. Tiba-tiba ia mencengkram pundakku dengan keras, sangat keras sampai tubuhkku menjadi kaku. Tubuhku serasa menjadi batu dilapisi kain yang sedikit basah akibat keringat yang keluar. Entah kenapa itu bisa terjadi. Sorot matanya menembus jantung untuk berhenti berdetak. Perempuan itu tidak tersenyum apa lagi tertawa melihat aku dalam posisi salah tingkah seperti itu. Semakin tajam matanya menatapku, justru aku semakin tak takut untuk menatapnya pula.

Dia menatapku tanpa hati memotong aliran darah ke jantung. “Aku menginginkan jantungmu...” dengan nada bicara yang tinggi dia bicara padaku, tangannya yang satu tiba-tiba sudah mencengkram hati itu. Dan meremas-remas sampai lembut dan menjadi potongan-potongan kecil. Ada darah yang menetes dari kepalam tangannya. Aku berhenti bernapas dan memukul pergelangan tangannya.. pegangannya di pundakku terlepas. Dia mundur beberapa langkah.

“apa maksudmu ingin merenggut hati ku?”. Aku mulai bisa mengendalikan keadaan. Perempuan itu terpaku, diam tak menjawab pertanyaanku. Dia masih menatapku tapi dengan sorot mata yang tak setajam tadi.

“Siapa namamu?”

“lyla” jawabnya sambil melangkah dan duduk di sampingku. Dia mengulurkan tangannya dan kusambut. Dia mulai bisa tersenyum. Namun tiba-tiba tangannya sudah kembali mencengkram pundakku, lebih kuat dari tadi. Aku tak berniat melepaskan cengkramannya di pundakku. Kubiarkan saja karena aku tak merasa takut. Justru suasan keakraban yang kurasakan. Ah mungkin aku terpesona dengan senyuman itu.

“Namaku Raffi. Kenapa kamu datang ke sini?”

“Aku butuh teman, aku tak ingin selalu sendirian, sendiri tanpa belaian, kesepian tanpa teman”

Entah perasaan apa tiba-tiba aku seperti merasakan perasaan yang sama seperti halnya dirinya. Mungkin aku butuh belaian juga saat ini, tapi siapakah perempuan ini sebenarnya aku belum tahu.

“Jujur, aku aku merasa kita mempunya banyak kesamaan, meskipun kita baru kenal. Tapi siapakah sebenarnya nona ini?, mungkinkah keakraban akan terjalin antara kita? Padahal kita baru kenal!!”

Dia menghela napas sesaat. “ya, kita memang belum saling mengenal, tapi aku merasa mas Raffi lah yan g selalu muncul dalam bayang-bayangku”. Aku hanya tertawa kecil mendengar perkataannya.

“Jadi itu alasanmu ingin merenggut hatiku?”

“Bukan, bukan itu saja , masih banyak alasan-alasan yang lain. Dan bukankah mas Raffi juga butuh teman dalam hidup ini?. Aku yakin.... dan itu tampak dari kegelisahanmu. Aku membutuhkan mas Raffi bukan hanya sekedar teman tapi lebih dari itu”.

Aku bingung dengan jawabannya. Aku menduga-duga jangan-jangan dia adalah bidadari yag muncul atas kegelisahanku. Atau dia adalah orang gila yang berpenampilan menarik yang mencoba mengajakku untuk begila ria. Kutepis pikiranku, semoga bukan orang gila. Ah... aku memikirkan diri ku sendiri, bukankah aku juga membutuhkan seorang teman? Tak jauh berbeda dengannya! Ya.. cocok. Aku manggut-manggut.

Ia menoleh kearahku dan kembali tersenyum. Senyumnya sangat menawan tanpa senyum pun kurasa dia masih tampak cantik. Dia menatapku sayu. Ada kesejukkan dan kerinduan penuh harapan dalam tatapan matanya. Tak tampak kegelisahan dalam raut wajahhnya, malah justru tampak seperti kasihan denganku serasa mengharu iba.

Aku masih diam tak bermaksud menanggapi perkataannya. Tak ada suara yang keluar dari mulutku . dia pun bicara, hanya membisu. kamarku kembali sunyi.

Bangun pagi aku langsung menyentuh pundakku, terasa sakit. Kuraba dadaku, mencoba mengingat-ingat bayangan semalam. Lyla!!?

***

“Perempuan itu bernama Lyla” kataku pada Awi di warung kopi.

“lyla...! dari mana kau kau tahu ?” timpal Awi. Dia menatapku penuh selidik.

“Semalam dia datang ke kost ku. Aku bermaksud ‘nembak’ dia, tapi nggak jadi”.

“Kenapa?”

“Nggak tahu, di pergi begitu saja” jawabku. Aku tak bermaksud menceritakan bagaimana dia mencengkramku. Awi menyeruput kopi di hadapannya. Wajahnya menyimpan kesan mendalam.

“Kalau di bernama lyla, dan memang sengaja menemuimu aku yakin dialah belahan jiwamu. Kalau tidak kau maka dia yang akan merenggut hatimu. Entah kapan waktunya”

“Sekarang kamu yakin dia akan merenggut hatiku”

“Ya, karena belahan jiwa akan tampak dari sorot matanya. Dan yang mengenali sorotan matanya hanya belahan jiwanya sendiri” Timpal awi tampak serius.
 

 “Bagaimana kalu bukan?”

“Nggak mungkin” Awi menggelengkan kepalanya. Di berfikir sejenak. “Tapi entahlah” lanjutnya.

Aku jadi ingin lebih tahu lagi siapa Lyla itu sebenarnya. Dari wajahnya yang kulihat semalam dia tak menunjukkan kegelisahan hatinya. Hanya sorot matanya saja yang tampak ingin merenggut hatiku. Atau seperti kata awi, akulah yang mengenali sorot mata belahan jiwaku. Perempuan bernama Lyla itu seperti malaikat yang mengetahui kegelisahanku, mengetahui bisikan hatiku. Dia menjelma menjadi bayangan dan meninggalkan jejak bahwa dirinya adalah kenyataan.

“Dia bermaksud mengenalkan dirinya pada malam hari agar tak diketahui orang-orang” kataku melanjutkan cerita.

“Apakah kau tahu alasan dia berbuat seperti itu?”

“Tidak tahu”Kubakar sebatang kretek lalu kihisap dalam dalam.

Tak jauh dari tempat dudukku dua orang yang baru datang memesan sesuatu. “Dibungkus mbak...., Dua..”

Awi kembali menatapku. Sepertinya dia membaca kegelisahanku. Dia tersenyum melihatku bernafsu menghisap rokok. Nafas serasa sesak berebut udara dengan dadun-daun bunga yang menghiasi tembok ruangan. Dua orang yang tadi memesan sesuatu membayar beliannya, seorang diantaranya tersenyum padaku dan kubalas senyuman itu dengan sedikit anggukan. Mereka pun segera meninggalkan warung.

Orang-orang dalam ruangan semula hanya diam tiba-tiba seperti ada yang menggerakkan mereka untuk tertawa, dan meracau tak jelas apa yang mereka bicarakan, bunyi-unyi hampa yang keluar dari mulut yang sekedar keluar saja kemudian yang lain menimbun bunyi itu dengan bunyi lain. Tampak penjual memberikan secangkir kopi buat salah seorang dari mereka.

Tubuhku serasa kapas yang melayang-layang entah akan ‘nyangkut’ di mana. Tak tahu tempat atau siapa. Dia mana akan kujumpai dia. Aku menghitung waktu yang berubah menjadi setumpuk kerinduan. Detik dan menit membuka ruang dengan penuh hiasan. Dan perempuan itu menghiasai ke dalam dadaku dan memenuhi semuanya dengan hiasan senyuman.

Dia sudah berdiri di depan pintu, memakai celana jeans biru dengan kaos yang bewarna putih. Tampak serasi sekali dengan dirinya. Tatapannya dilepaskan pada semua orang di seluruh ruangan. Ya, aku mengenali tatapan itu. Aku bermaksud menggeser dudukku merapat ke Awi, dan memberi tahunya; perempuan itulah yang bernam Lyla. Tapi perempuan itu sudah duduk disamping awi dan tampak berbicara akrab. Aku memperhatikan gerak-geriknya, juga senyumannya. Barangkali dia akan memperhatikanku.

“Kenalkan, ini Santi” kata Awi bicara padaku. Perempuan yang disebut Santi itu pun mengulurkan tangannya dan kusentuh lembut telapak tangannya. Kami pun bersalaman. Pandangan kami beradu, ada bunga-bunga yang bermunculan di kornea matanya.

“Raffi” kataku memperkenalkan diri. Dia hanya tersenyum dengan sedikit anggukan.

“Dia anak kost yang baru pindahan..” kata Awi memberi tahuku. Santi tersenyum seperti mengiakan perkataan Awi.

Aku memandangnya lama. Wajahnya, senyumnya, gerai rambutnya, tidak jauh beda dengan perempuan dalam bayangan yang menemuiku semalam. Aku yakin dialah Lyla.

Semua orang tentu tidak tahu kalau dialah belahan jiwaku, lyla. Termasuk awi. Aku tak habis fikir bagaimana perempuan itu bisa menyembunyikan bunga-bunga di matanya di hadapan orang lain.
Serasa kegembiraan menyeruak di dadaku. Ada kesejukan di hatiku. Senang rasanya bisa berjumpa dengannya. Ingin rasanya menumpahkan kerinduanku padanya. Namun tiba-tiba entah setan apa yang hinggap di kepalaku sehingga aku menjadi kaku. Keberanianku justru hilang di hadapannya. Aku hanya sesekali menatapnya. Aku tak berani berbuat lebih jauh. Bahkan untuk sekedar menanyakan ......ah..

Kegembiraanku sontak lenyap, menjelma menjadi kebencian kepada semua orang di warung itu terutama pada Awi. Bagaimana mungkin dia tak mengnali wanita belahan jiwaku itu. Bagaimana mungkin Awi tak melihat bunga-bunga yang bermunculan di matanya..! bagaimana mungkin dia tak mengenali senyuman itu hanya untukku! Bukankah Awi itu ‘guruku!?.

Orang-orang di warung itu termasuk Awi kembali meracau tak karuan, Bahkan tawa mereka semakin lebar saja. Sesekali mereka menoleh ke arahku. Mungkinkah mereka membicarakankuu dan menertawakanku. Ah, persetan meraka ... kurasa mereka sudah gila semua. Aku merasakan ruangan yang semakin sengak saja.

Selama pikiran-pikiran itu berkecamuk dalam otak, aku bergegas keluar setelah membayar minuman dan rokok. Aku membiarkan tatapan Awi dan perempuan yang mengaku santi itu.

Di jalan raya depan warung, seorang kakek –kakek yang memang rada bongkok menganggukkan kepala. Takzim, walau mungkin setengah di paksa. Tak lupa aku tersenyum meski juga setengah kupaksa. Dan senyumku itu adalah pengganti kata yang biasanya “permisi pak..”.

“Yup! Hati-hati anak muda, sering-seringlah tersenyum, agar tak lekas tua” aku berharap pikiran dia berkata seperti itu. Namun pada saat yang sama aku juga berhak menduga sorot matanya ingin berkata”minggatlah kau, anak muda. Jangan kembali lagi ke warung ini supaya kau tak merepotkanku dengan keharusan memberi anggukan selamat datang kembali ke warung ini”. Ah.....


Kulanjutkan langkahku menuju kost. Di tengah jalan pikiranku kembali ke Santi (Lyla) dan sesekali menoleh dan berharap dia mengikutiku sampai di kost-ku untuk kembali ‘membelaiku’ seperti malam itu. Aku memperlambat langkahku kembali aku menoleh ke belakang. Ah..itu dia, benar dia mengikutiku. Dia masih mengikutiku sampai depan pintu gang kost-ku. Aku menoleh ke arahnya. Eh..dia berbelok arah dan menyeberang jalan memasuki Wisma Melati. O... ternyata dia kost di situ. Aku tesenyum sendiri, kutarik napas dalam-dalam.

Untuk si dia yang merampas matahariku di saat aku sedang menikmati siang,’tuk si dia yang nekat merenggut rembulanku di saat aku sedang menikmati malam.
Yogyakarta, ‘09

5 komentar:

jablay nyasar mengatakan...

lumayan ceritanya, jadi pingin baca yang lainn

anak kecil mengatakan...

ngantuk panjang biangat mas ceritane..wes sa'iki aq diceritakno wae ben rak kesuwen...

tas kertas/paper bag blogs mengatakan...

emang ini karya master piecenya wiwin solihin.... lyla jablay pasti berlalu......klau ga salah pernah terbit di majalah pa yahh?? ...

semangat bos tuk menulis... buktikan keberadaanmu dengan karyamu.. go ahead !

wins mengatakan...

matur suwun semuanya..

Laila_Zaa mengatakan...

bgus critanya..pi kpanjangan jd mlah ngantuk hee d tnggu krya lainnya ya pak

Posting Komentar

 

Copyright © sastra bocah lali omah