LYLA : JABLAY PASTI BERLALU

“Bagaimana kau bisa yakin kalau dia itu belahan jiwamu?” tanya Awi.

“Nggak mungkin. Dari matanya aku tahu, dia inginkan aku. Kemarin di warung ini dia berdiri di sampingku. Tangannya pura-pura memijit kepala, tapi ekor matanya selalu mengintipku, mencari-cari mataku dan sorotan matanya itu ingin merenggut hatiku..” aku mencoba meyakinkan Awi. Kuambil rokok yang terselip di telingaku dan membakarnya.

“Dari mana kau bisa tahu kalau dia itu ingin merenggut hatimu?”


“Ah kau ini, dari matanyalah...” Kuhisap rokokku dalam-dalam.

Awi tertawa lebar-lebar. Giginya yang kuning kerat nikotin anti gosok bermunculan dari mulutnya.. kekehnya bukan saja menertawakan kejengkelanku, tapi lebih dari itu, tawa seorang jomblo melihat kawannya hampir kehilangan jatidiri ‘kejombloan’nya.

Aku dan Awi memang tak seberuntung kawan-kawan yang lain, yang sudah punya tambatan hati dan beberapa diantaranya sudah menikah. Aku sepenuhnya tidak merasa tampan dan pantas untuk perempuan itu. Malam itu dia datang entah dari mana aku tidak tahu. Setelah aku menyanyikan lagunya Chrisye ‘ Badai Pasti Berlalu’ yang didaur ulang oleh Ari Lasso. Dari dekat dia memandangku dengan sedikit terenyum. Ohh... jantung seakan berhenti berdetak melihat senyumnya. Rupawan (mestinya rupawati..) sekali wanita ini. Kutelan air ludahku beberapakali. Wanita itu seperti menghadirkan momen baru dalam hidupku.

Sudah cukup lama aku ‘jablay’. Sejak aku menginjak kota ini. Pikiranku menerawang jauh. Empat tahun sudah berlalu dan empat tahun sudah aku meninggalkan kampung halaman yang indah. Tak terasa waktu semakin jauh meninggalkan seribu kenangan, baik yang untuk dikenang maupun tidak, atau juga tak terkenang. Namun yang pasti waktu terus berjalan tanpa kita menyadarinya dan berlalu begitu saja. Waktu pun menyimpan misteri di dalamnya. Aku hanya menjalani hidup ini apa adanya. Susah senang hanyalah dinamika semata dan itu indah silih berganti. Ada proses di dalamnya. Aku adalah manusia yang manggali hidup, mewarnai hidup dan kehidupan orang-orang yang mencintaiku, menyayangiku, dan juga membenciku. Aku hanya menggali hidup dan makna kehidupan itu. Beberapa babak kehidupan telah kulalui.

Tapi apalah arti hidup, tanpa cinta? Apa jadinya jika manusia tidak mengenal cinta ? Temaram pikiran menyeruak rasa, ketenangan jiwa mulai pudar, lenyap. Sejarah manusia tak berhingga kini. Dunia yang katanya diperuntukkan oleh dan sebab cinta menjadi penuh dan tenggelam akibat cinta. Ya, hidup tanpa cinta bagai malam tak berbintang, kata orang. Entah apa dunia ini tercipta dari tanah atau cinta. Aku hanya merasakan kegersangan dan paceklik berkepanjangan. Jomblowan juga manusia. Kini saatnya membuka babak baru. Aku harus mengakhiri masa pacekik itu. Aku harus segera mengganti statusku dari seorang jomblo menjadi..........

“Hai...”. Awi mengejutkan lamunanku. “Bagaimana caramu mengikat hatinya?”


“Entahlah... mungkin pakai jampi-jampi........”. Aku nyengir sambil tanganku mengambil Ha-Pe di kantong celanaku.

Awi tertawa lebih keras dari tadi. Pemilik warung memandang sebentar. Kemudian melanjutkan pekerjaannya. Empat orang yang sedang asik berbincang di sebelah sudut yang lain tetap melanjutkan pekerjaanya. Aku dengar kata-kata putus dari mereka “jam delapan “ “ sip” “perempatan” “spanduk”.....

“Kamu tahu nggak alasan dia jatuh cinta sama aku?”

“Mana aku tahu...., kamu yang punya firasat”

“Itulah Firasat, tidak membawa alasan, begitu juga halnya dengan cinta, cinta itu pun tak bisa ditebak.”

“Kamu kayak ABG yang lagi puber aja. Cinta itu tidak datang dengan ini” dia menuding kepalanya sendiri, “ini” dengan tangan terkepal sembari menepuk dadanya sendiri, “dan juga ini” dia menepuk saku celananya yang menyimpan dompet, “jadi bukan sekedar firasat”.

Ah, sok tahu pikirku. Pusing rasanya bicara dengan orang yang tidak memahami kondisi apa yamg meng-kondisikan diriku saat ini. Tapi setidaknya dia tidak terlalu meremehkan perasaanku.tapi bukankah dia sendiri masih jomblo..?. Pasti tak pernah dapat belaian. Aku nyengir sendiri.

“Hidup pun demikian, tapi kau jangan menurut saja demikian. Firasat terkadang datang, tapi engkau jangan pernah takut bila harus mengusirnya. Demikian juga dengan kewajiban. Ah... siapasih yang benar-benar suka dengan kewajiban? Semestinya tak perlu ada kewajiban dalam hidup ini. Yang perlu ada hanyalah kebutuhan.. ya.... kebutuhan.........” cerocos Awi tampak serius.

Kusodorkan rokok di jariku. “Join” kataku. Dia mengambil rokok di jariku, dihisapnya rokok itu dalam-dalam.

“Berarti kita jomblo kayak gini karena nggak butuh perempuan maksudmu!”

“Jomblonya kita ini bukan karena pilihan, dan bukan karena nggak butuh, tapi memang belum ada aja cewek yang beruntung mendapatkan kita” kata Awi. Dia tertawa lepas, aku pun ikut tertawa.

Terdengar azan maghrib dari Musholla tak jauh dari warung kopi tempat kami nongkrong. Kusarankan dia agar membersihkan Pikirannya yang sedang ‘tidak sehat’ di musholla itu.” Kau tidak lebih alim dariku” timpalnya.

Beberapa pemuda melintas di jalan depan warung. Menuju musholla tampaknya. Salah seorang menoleh sejenak ke arah kami sembari mengangguk seakan ingin mengajak kami ke musholla itu. Kami tak bereaksi. Pemuda itu melanjutkan langkahnya.

***

Malam sudah agak larut. Aku hanya ditemani sepi. Tak ada suara jangkrik, cicak, tukang jual nasi goreng nasi keliling, ataupun suara-suara lainnya. Hanya lolongan anjing sesekali terdengar sayup-sayup di kejauhan. Aku tak bisa tidur, hanya baring-baring di dipan. Kutatap langit-langit kamarku. Muncul bayangan-bayangan dari situ. Bayangan-bayangan itu terus berubah-ubah dan terus berubah. Dari kecil kemudian membesar. Dari seekor cicak tiba-tiba menjadi seekor buaya dan terus berubah menjadi bayangan lain. Muncul bayangan masjid, kemudian berubah jadi sajadah..dan tiba-tiba dari balik sajadah itu muncul sesosok perempuan. Aku ingat bukankah dia perempuan yang kutemui di warung itu....!!? Ah, aku belum berkenalan dengannya.

Perempuan itu sudah berdiri di hadapanku, dia membelai-belai rambut ku yang memang agak gondrong dengan lembut. Tiba-tiba ia mencengkram pundakku dengan keras, sangat keras sampai tubuhkku menjadi kaku. Tubuhku serasa menjadi batu dilapisi kain yang sedikit basah akibat keringat yang keluar. Entah kenapa itu bisa terjadi. Sorot matanya menembus jantung untuk berhenti berdetak. Perempuan itu tidak tersenyum apa lagi tertawa melihat aku dalam posisi salah tingkah seperti itu. Semakin tajam matanya menatapku, justru aku semakin tak takut untuk menatapnya pula.

Dia menatapku tanpa hati memotong aliran darah ke jantung. “Aku menginginkan jantungmu...” dengan nada bicara yang tinggi dia bicara padaku, tangannya yang satu tiba-tiba sudah mencengkram hati itu. Dan meremas-remas sampai lembut dan menjadi potongan-potongan kecil. Ada darah yang menetes dari kepalam tangannya. Aku berhenti bernapas dan memukul pergelangan tangannya.. pegangannya di pundakku terlepas. Dia mundur beberapa langkah.

“apa maksudmu ingin merenggut hati ku?”. Aku mulai bisa mengendalikan keadaan. Perempuan itu terpaku, diam tak menjawab pertanyaanku. Dia masih menatapku tapi dengan sorot mata yang tak setajam tadi.

“Siapa namamu?”

“lyla” jawabnya sambil melangkah dan duduk di sampingku. Dia mengulurkan tangannya dan kusambut. Dia mulai bisa tersenyum. Namun tiba-tiba tangannya sudah kembali mencengkram pundakku, lebih kuat dari tadi. Aku tak berniat melepaskan cengkramannya di pundakku. Kubiarkan saja karena aku tak merasa takut. Justru suasan keakraban yang kurasakan. Ah mungkin aku terpesona dengan senyuman itu.

“Namaku Raffi. Kenapa kamu datang ke sini?”

“Aku butuh teman, aku tak ingin selalu sendirian, sendiri tanpa belaian, kesepian tanpa teman”

Entah perasaan apa tiba-tiba aku seperti merasakan perasaan yang sama seperti halnya dirinya. Mungkin aku butuh belaian juga saat ini, tapi siapakah perempuan ini sebenarnya aku belum tahu.

“Jujur, aku aku merasa kita mempunya banyak kesamaan, meskipun kita baru kenal. Tapi siapakah sebenarnya nona ini?, mungkinkah keakraban akan terjalin antara kita? Padahal kita baru kenal!!”

Dia menghela napas sesaat. “ya, kita memang belum saling mengenal, tapi aku merasa mas Raffi lah yan g selalu muncul dalam bayang-bayangku”. Aku hanya tertawa kecil mendengar perkataannya.

“Jadi itu alasanmu ingin merenggut hatiku?”

“Bukan, bukan itu saja , masih banyak alasan-alasan yang lain. Dan bukankah mas Raffi juga butuh teman dalam hidup ini?. Aku yakin.... dan itu tampak dari kegelisahanmu. Aku membutuhkan mas Raffi bukan hanya sekedar teman tapi lebih dari itu”.

Aku bingung dengan jawabannya. Aku menduga-duga jangan-jangan dia adalah bidadari yag muncul atas kegelisahanku. Atau dia adalah orang gila yang berpenampilan menarik yang mencoba mengajakku untuk begila ria. Kutepis pikiranku, semoga bukan orang gila. Ah... aku memikirkan diri ku sendiri, bukankah aku juga membutuhkan seorang teman? Tak jauh berbeda dengannya! Ya.. cocok. Aku manggut-manggut.

Ia menoleh kearahku dan kembali tersenyum. Senyumnya sangat menawan tanpa senyum pun kurasa dia masih tampak cantik. Dia menatapku sayu. Ada kesejukkan dan kerinduan penuh harapan dalam tatapan matanya. Tak tampak kegelisahan dalam raut wajahhnya, malah justru tampak seperti kasihan denganku serasa mengharu iba.

Aku masih diam tak bermaksud menanggapi perkataannya. Tak ada suara yang keluar dari mulutku . dia pun bicara, hanya membisu. kamarku kembali sunyi.

Bangun pagi aku langsung menyentuh pundakku, terasa sakit. Kuraba dadaku, mencoba mengingat-ingat bayangan semalam. Lyla!!?

***

“Perempuan itu bernama Lyla” kataku pada Awi di warung kopi.

“lyla...! dari mana kau kau tahu ?” timpal Awi. Dia menatapku penuh selidik.

“Semalam dia datang ke kost ku. Aku bermaksud ‘nembak’ dia, tapi nggak jadi”.

“Kenapa?”

“Nggak tahu, di pergi begitu saja” jawabku. Aku tak bermaksud menceritakan bagaimana dia mencengkramku. Awi menyeruput kopi di hadapannya. Wajahnya menyimpan kesan mendalam.

“Kalau di bernama lyla, dan memang sengaja menemuimu aku yakin dialah belahan jiwamu. Kalau tidak kau maka dia yang akan merenggut hatimu. Entah kapan waktunya”

“Sekarang kamu yakin dia akan merenggut hatiku”

“Ya, karena belahan jiwa akan tampak dari sorot matanya. Dan yang mengenali sorotan matanya hanya belahan jiwanya sendiri” Timpal awi tampak serius.
 

 “Bagaimana kalu bukan?”

“Nggak mungkin” Awi menggelengkan kepalanya. Di berfikir sejenak. “Tapi entahlah” lanjutnya.

Aku jadi ingin lebih tahu lagi siapa Lyla itu sebenarnya. Dari wajahnya yang kulihat semalam dia tak menunjukkan kegelisahan hatinya. Hanya sorot matanya saja yang tampak ingin merenggut hatiku. Atau seperti kata awi, akulah yang mengenali sorot mata belahan jiwaku. Perempuan bernama Lyla itu seperti malaikat yang mengetahui kegelisahanku, mengetahui bisikan hatiku. Dia menjelma menjadi bayangan dan meninggalkan jejak bahwa dirinya adalah kenyataan.

“Dia bermaksud mengenalkan dirinya pada malam hari agar tak diketahui orang-orang” kataku melanjutkan cerita.

“Apakah kau tahu alasan dia berbuat seperti itu?”

“Tidak tahu”Kubakar sebatang kretek lalu kihisap dalam dalam.

Tak jauh dari tempat dudukku dua orang yang baru datang memesan sesuatu. “Dibungkus mbak...., Dua..”

Awi kembali menatapku. Sepertinya dia membaca kegelisahanku. Dia tersenyum melihatku bernafsu menghisap rokok. Nafas serasa sesak berebut udara dengan dadun-daun bunga yang menghiasi tembok ruangan. Dua orang yang tadi memesan sesuatu membayar beliannya, seorang diantaranya tersenyum padaku dan kubalas senyuman itu dengan sedikit anggukan. Mereka pun segera meninggalkan warung.

Orang-orang dalam ruangan semula hanya diam tiba-tiba seperti ada yang menggerakkan mereka untuk tertawa, dan meracau tak jelas apa yang mereka bicarakan, bunyi-unyi hampa yang keluar dari mulut yang sekedar keluar saja kemudian yang lain menimbun bunyi itu dengan bunyi lain. Tampak penjual memberikan secangkir kopi buat salah seorang dari mereka.

Tubuhku serasa kapas yang melayang-layang entah akan ‘nyangkut’ di mana. Tak tahu tempat atau siapa. Dia mana akan kujumpai dia. Aku menghitung waktu yang berubah menjadi setumpuk kerinduan. Detik dan menit membuka ruang dengan penuh hiasan. Dan perempuan itu menghiasai ke dalam dadaku dan memenuhi semuanya dengan hiasan senyuman.

Dia sudah berdiri di depan pintu, memakai celana jeans biru dengan kaos yang bewarna putih. Tampak serasi sekali dengan dirinya. Tatapannya dilepaskan pada semua orang di seluruh ruangan. Ya, aku mengenali tatapan itu. Aku bermaksud menggeser dudukku merapat ke Awi, dan memberi tahunya; perempuan itulah yang bernam Lyla. Tapi perempuan itu sudah duduk disamping awi dan tampak berbicara akrab. Aku memperhatikan gerak-geriknya, juga senyumannya. Barangkali dia akan memperhatikanku.

“Kenalkan, ini Santi” kata Awi bicara padaku. Perempuan yang disebut Santi itu pun mengulurkan tangannya dan kusentuh lembut telapak tangannya. Kami pun bersalaman. Pandangan kami beradu, ada bunga-bunga yang bermunculan di kornea matanya.

“Raffi” kataku memperkenalkan diri. Dia hanya tersenyum dengan sedikit anggukan.

“Dia anak kost yang baru pindahan..” kata Awi memberi tahuku. Santi tersenyum seperti mengiakan perkataan Awi.

Aku memandangnya lama. Wajahnya, senyumnya, gerai rambutnya, tidak jauh beda dengan perempuan dalam bayangan yang menemuiku semalam. Aku yakin dialah Lyla.

Semua orang tentu tidak tahu kalau dialah belahan jiwaku, lyla. Termasuk awi. Aku tak habis fikir bagaimana perempuan itu bisa menyembunyikan bunga-bunga di matanya di hadapan orang lain.
Serasa kegembiraan menyeruak di dadaku. Ada kesejukan di hatiku. Senang rasanya bisa berjumpa dengannya. Ingin rasanya menumpahkan kerinduanku padanya. Namun tiba-tiba entah setan apa yang hinggap di kepalaku sehingga aku menjadi kaku. Keberanianku justru hilang di hadapannya. Aku hanya sesekali menatapnya. Aku tak berani berbuat lebih jauh. Bahkan untuk sekedar menanyakan ......ah..

Kegembiraanku sontak lenyap, menjelma menjadi kebencian kepada semua orang di warung itu terutama pada Awi. Bagaimana mungkin dia tak mengnali wanita belahan jiwaku itu. Bagaimana mungkin Awi tak melihat bunga-bunga yang bermunculan di matanya..! bagaimana mungkin dia tak mengenali senyuman itu hanya untukku! Bukankah Awi itu ‘guruku!?.

Orang-orang di warung itu termasuk Awi kembali meracau tak karuan, Bahkan tawa mereka semakin lebar saja. Sesekali mereka menoleh ke arahku. Mungkinkah mereka membicarakankuu dan menertawakanku. Ah, persetan meraka ... kurasa mereka sudah gila semua. Aku merasakan ruangan yang semakin sengak saja.

Selama pikiran-pikiran itu berkecamuk dalam otak, aku bergegas keluar setelah membayar minuman dan rokok. Aku membiarkan tatapan Awi dan perempuan yang mengaku santi itu.

Di jalan raya depan warung, seorang kakek –kakek yang memang rada bongkok menganggukkan kepala. Takzim, walau mungkin setengah di paksa. Tak lupa aku tersenyum meski juga setengah kupaksa. Dan senyumku itu adalah pengganti kata yang biasanya “permisi pak..”.

“Yup! Hati-hati anak muda, sering-seringlah tersenyum, agar tak lekas tua” aku berharap pikiran dia berkata seperti itu. Namun pada saat yang sama aku juga berhak menduga sorot matanya ingin berkata”minggatlah kau, anak muda. Jangan kembali lagi ke warung ini supaya kau tak merepotkanku dengan keharusan memberi anggukan selamat datang kembali ke warung ini”. Ah.....


Kulanjutkan langkahku menuju kost. Di tengah jalan pikiranku kembali ke Santi (Lyla) dan sesekali menoleh dan berharap dia mengikutiku sampai di kost-ku untuk kembali ‘membelaiku’ seperti malam itu. Aku memperlambat langkahku kembali aku menoleh ke belakang. Ah..itu dia, benar dia mengikutiku. Dia masih mengikutiku sampai depan pintu gang kost-ku. Aku menoleh ke arahnya. Eh..dia berbelok arah dan menyeberang jalan memasuki Wisma Melati. O... ternyata dia kost di situ. Aku tesenyum sendiri, kutarik napas dalam-dalam.

Untuk si dia yang merampas matahariku di saat aku sedang menikmati siang,’tuk si dia yang nekat merenggut rembulanku di saat aku sedang menikmati malam.
Yogyakarta, ‘09
Baca Selengkapnya...

Rinduku....

Rasa rindu itu seketika menyeruak ketika suara itu menyelinap dalam relungku. Jauh kusimpan rapat-rapat keinginan untuk berjumpa denganmu.
Ah...hari ini kau telah meluluskan dirimu..., dan jauh-jauh hari kau sudah mengharapkan kehadiranku di kelulusanmu itu. Tapi dengan penuh ke egoisan aku justru tak menuruti kainginanmu akan kehadiranku.

Lima tahun berlalu, dan masih jelas dalam bayangku masa-masa kebersamaan kita, lugu.., manja.., dan sedikit cerewet kesanku atas dirimu. Dan saat ini yang kurasakan justru bayangan-bayangan itu semakin menyesakkanku. Juga akibat fikiran-fikiran di otak silih berganti tak tentu.

Ah..., egoisnya diriku yang tak bisa hadir di acaramu meski hanya sejenak ‘tuk melihatmu bergembira.. sukaria atas kelulusanmu..juga tuk melihat kembali senyummu.

Angkuhnya diriku yang tak mau berkorban waktu walau hanya sekejap ‘tuk kembali mendengar suara dan berceloteh ria denganmu.

sesalku membayang di atas ketololanku..yang tak mau mengerti keinginanmu akan diriku, akan rasa rindumu padaku, juga sebaliknya..rasa rinduku padamu.

Murkalah diriku bilamana bertemu denganmu...karena kuyakin kau akan tampak semakin dewasa.., cantik, anggun.......tapi bukan itu yang kuharap darimu. Aku hanya bisa berharap; makilah aku atas ketololanku sebagai penghantar maaf darimu.


kupersembahkan untuk adikku
Sholeha Morlye Tyehonnhaa
'met..wisuda..'

Yogyakarta, 28 Juni 2010
Baca Selengkapnya...

Copet Itu.......

Kudapati tubuhku terbaring lemah di pembaringan. Kuedarkan pandanganku ke seluruh ruangan. Putih... ruangan itu putih semua, benda-benda yang ada di situ pun tampak terang, dominan warna putih di ruangan itu. Aku bingung sendiri, dimana aku? Kucoba bangkitkan tubuhku, terasa sakit di seluruh tubuhku, kuraba wajahku, ada benjolan di dahi dan bibir, ada balutan perban di pelipis sebelah kiriku. Aku hanya meringis menahan sakit. Kuperhatikan lagi seluruh keadaan seluruh tubuhku, lebam di sana - sini. Kembali kuedarkan pandanganku, kuraba semua kantong celanaku. Hilang...!! dompetku, HP ku, tasku!!? Apa yang terjadi...?

***

Sekali lagi kuperiksa dompetku begitu sampai di Stasiun Senen. Alhamdulillah masih ada. Sebelum berangkat teman-temanku selalu berpesan agar aku berhati-hati di jalan, Jakarta adalah kota besar yang memiliki banyak macam tingkah polah manusia, dari yang baik sampai yang jahat, dari yang tinggal di apartemen sampai yang tinggal di kolong jembatan, dari orang yang bisa mengaku waras sampai orang yang mengaku gila.ya, kebaikan sangat tipis jaraknya dengan kejahatan. Andi salah satu temanku yang pernah ke Jakarta pernah kecopetan di dalam bus.

”Biasanya banyak copet beraksi di dalam bus, terlebih saat bus penuh dan para penumpang berdesak-desakan. Itu merupakan lahan empuk bagi para pencopet” kata Andi beberapa waktu lalu, meskipun kemudian hari di ketahuinya si pencopet tidak lain adalah orang yang satu kampung dengannya.

Kulanjutkan langkahku.Akhirnya kuinjakkan juga kakiku di ibukota negara Indonesia ini. Aku berjalan di Pasar Senen. Kuanggukkan kepalaku pada seorang pedagang asongan yang tampaknya sedang ngaso.

“ Monggo mas..” kataku. Pedagang itu hanya menoleh kemudian melanjutkan pekerjaannya. “Ah.., inikan Jakarta! Nggak pake’ “monggo” mestinya” aku bicara dalam hati. Aku tersenyum sendiri. Kulanjutkan langkahku. Sebelum akhirnya kulihat bus arah Ciputat.

Di dalam bus itu aku tak mau lengah, meskipun cape’ yang kurasa saat ini. Tak ingin aku kecopetan seperti yang dialami Andi. Seorang ibu berperawakan agak gemuk tersenyum kepadaku. Ibu itu duduk persis di sebelah kiriku. Di pangkuannya ada tas besar yang entah isinya apa.

“Adik mau kemana?” Tanya ibu itu.

“Ciputat, bu. UIN” sahutku.

Ibu itu tersenyum. Mungkin ibu itu menertawakan logatku yang Jawa banget
Kuperhatikan ibu itu. Meski sedikit gemuk, tapi ia terlihat cantik.
Lagi-lagi pesan Andi terngiang di telingaku.

“Kamu harus hati-hati, Rin, jangan lekas percaya pada orang,” pesan Andi menjelang keberangkatanku.

“Ingat, Rin, kalau tidak terlalu penting, jangan ngobrol dengan sembarang orang di dalam bus. Apalagi kamu cewek, takut kalau kamu kena hipnotis nanti,” lanjut Andi lagi.

Aku maklum dengan kecemasan Andi yang berlebihan melepas kepergianku. Sebelumnya aku memang tidak pernah pergi ke Jakarta. Kalau pergi paling hanya di sekitaran Jogja. Maklum, aku hanya tahu Jogja meskipun sekarang kota itu sudah banyak mengalami perubahan, namun bagiku tetap berhati nyaman. Tapi kali ini aku terpaksa ke Jakarta, Aku dapat kesempatan mengikuti kuis di salah satu stasiun televisi swasta dan harus berangkat sendiri. Tak ada yang bisa menemaniku. Semuanya sibuk dengan kerjaan masing-masing. “Iya, tidak usah khawatir,” sahutku pada Andi singkat.

***

Udara sangat panas. Kukipas-kipaskan koran yang ada di tanganku. Lumayan dapat menghadirkan sedikit angin untuk mengusir gerah.

“Mau ngemil, Dik?” Ibu itu menawarkan sebungkus kacang goreng kepadaku.

“Terima kasih, Bu, saya masih kenyang”. Kutolak halus tawaran Ibu itu. Aku ingat pesan Andi agar jangan sembarangan menerima tawaran orang untuk makan, sebab obat bius bisa dimasukkan melalui makanan.

“Astaghfirullahaladzim…!” ucapku lirih. Aku tidak bermaksud berburuk sangka pada ibu itu, tapi aku hanya sekadar berhati-hati.

Bus berhenti. Ada penumpang yang naik. Seorang laki-laki berambut gondrong dan berpakaian agak lusuh. Sepertinya ia berasal dari golongan kelas bawah. Aku patut curiga dengan orang ini. Keterbatasan ekonomi mungkin saja membuatnya nekat. Hal-hal semacam itu sering aku lihat dalam tayangan kriminal di televisi.

Jangan-jangan sasarannya kali ini adalah aku. Ih…aku bergidik. Jantungku berdetak makin cepat saat laki-laki itu memilih duduk tepat di sebelah kananku. Bau keringat menyeruak ke dalam penciumanku.

“Ya Allah, lindungi aku.” Kupegang tasku erat-erat. Aku harus hati-hati dengan laki-laki ini.

Sepanjang jalan perasaanku tidak tenang. Rasa hausku pun terpaksa kutahan. Aku tak berani membuka tasku untuk mengambil air kemasan di dalamnya. Aku takut kalau laki-laki di sampingku tahu segala isi tasku. Kulirik laki-laki gondrong di sebelahku. Ia diam terpaku di tempat duduknya, entah apa yang saat ini dipikirkannya.

Selang beberapa jam, bus berhenti. Laki-laki itu beranjak dari tempat duduknya. Rupanya ia sudah sampai di tempat yang ditujunya.

Aku menarik napas lega. Kuperiksanya tas kecilku. Alhamdulillah, dompetku masih ada. Kureguk air kemasan yang kubeli di terminal bus tadi. Lumayan untuk mengusir rasa haus yang kutahan sejak tadi.

Kulihat ibu di sebelahku begitu tenang terlelap. Suara bising dari pengamen di dalam bus seolah menjadi nyanyian pengantar tidurnya.

Untuk yang kesekian kalinya bus berhenti lagi. Seorang laki-laki seumuran kakakku masuk. Ia duduk di sebelahku. Pakaiannya bersih, rapi, dan wangi. Ia juga berkaca mata, sama seperti kakakku. Penampilannya sangat berbeda dengan laki-laki berambut gondorong tadi. Dari penampilannya, aku yakin bahwa ia orang baik-baik. Tak ada yang perlu kucurigai dari dia. Tapi bukankah banyak penjahat sekarang berpakaian rapi?

“Mau ke ciputat, Mbak?” tanyanya sopan.

“Iya, Mas,” sahutku ringan.

“Mas mau ke ciputat juga?” Aku balik bertanya.
Laki-laki itu mengangguk.

“Saya mau menjenguk saudara saya di Ciputat,” katanya.

Aku senang, kali ini aku tidak perlu ketakutan seperti tadi. Aku aman. Kedua orang yang duduk di sebelahku adalah orang baik-baik. Akhirnya aku tenggelam dalam obrolan-obrolan ringan bersama laki-laki yang baru kukenal itu.
Bus berhenti.

Kuraba saku celanaku, hapeku masih ada. Kembali kuperiksa tasku. Aku tersenyum lega. Alhamdulillah dompetku masih ada.

“Kenapa, Mbak?”.

“Oh…eh… anu..., Tidak apa-apa, Mas” Aku tersenyum malu. Rupanya laki-laki itu mengawasiku sejak tadi. Mungkin laki-laki itu heran melihatku yang selalu memeriksa tas.

“Anu-mu emangnya kenapa?” Laki-laki itu bertanya sambi tersenyum ke arahku. Aku jadi serba salah. Kupingku agak panas mendengar pertanyaannya. Mungkin wajahku saat itu bersemu merah, karena malu.

“Kita memang harus hati-hati, Mbak, banyak copet di mana-mana.” Laki-laki itu seolah dapat menebak jalan pikiranku.

“Kadang pencopet bisa berpura-pura sebagai orang baik dan mereka pun punya banyak cara untuk melancarkan aksinya,” lanjut laki-laki itu lagi.

Aku tersenyum sambil mengangguk-angguk. Sepertinya laki-laki ini tahu banyak tentang seluk-beluk copet. Ah, mungkin dulunya ia pernah dicopet, ungkapku dalam hati.

***

Angin berhembus masuk melalui jendela bus. Pinggangku terasa sudah mulai penat karena terlalu lama duduk. Kalau saja bus yang kutumpangi ini tidak sering berhenti, sudah sejak tadi aku tiba di ciputat. Kulirik arloji di pergelangan tanganku. Pukul 09:00 WIB. Laki-laki di sebelahku tertidur sejak tadi. Mungkin ia kelelahan sehingga tidak sanggup menahan kantuknya.

Bus kembali berhenti untuk menaikan penumpang. Kuharap ini adalah terakhir kalinya bus berhenti sebelum tiba di UIN. Aku tak ingin siska terlalu lama menunggu kedatanganku di UIN Jakarta. Siskalah satu-satunya temanku waktu SMA yang melanjutkan kuliah dijakarta. Tiga orang penumpang naik. Sepasang suami isteri yang masih muda beserta anak mereka yang masih balita.

“Mas dan Mbak silakan duduk di sini, biar saya yang berdiri” Naluri kemanusiaanku muncul. Aku tak tega melihat mereka berdiri. Isterinya sedang hamil, sementara anaknya sedang terlelap dalam gendongan ayahnya.

“Terima kasih, Dik.” Mereka tersenyum ramah kepadaku. Tak ada yang perlu kucurigai dari mereka.

Alhamdulillah, aku senang, ternyata kekhawatiran Andi tidak terbukti. Tak ada copet ataupun tukang bius di dalam bus yang kutumpangi ini.

Bus sudah memasuki Pondok Indah. Bus kembali berhenti. Beberapa penumpang naik. Tak lama bus itu jalan lagi.Ternyata laki-laki yang tadi menjadi teman ngobrolku beserta satu orang penumpang lainnya yang turun Tak lama lagi kami akan tiba di terminal. Lumayan lelah juga berdiri, tapi tak apalah, sedikit berkorban untuk orang yang lebih memerlukan.

Selang beberapa menit kemudian, perlahan bus memasuki terminal lebak bulus. Penumpang berdesakan turun. Kuapit tasku kuat-kuat, tak akan kubiarkan tangan jahil menjarahnya. Ibu ibu hamil itu pun handak turun pula tampaknya. Aku segera mengisi bangku kosong yang ditinggalkan ibu itu. Namun ibu itu tak juga turun meskipun sudah di depan pintu. Ia tampak nya kebingungan, kuperhatikan gerak geriknya, tiba-tiba tanpa kuduga sebelumnya ibu itu menudingku.

“Copet... “ Teriaknya mengejutkanku.
Penumpang yang lain sontak melihat kearahku, merekapun beraksi
Aku tak bisa mengelak ketika sebuah pukulan melayang di tengkukku.

“Periksa tasnya..”, Teriak ibu itu

“nggak nyangka, cantik-cantik maling...”Teriak yang lain sembari memberikan pukulan dan tendangan kearah tubuhku.

“Lihat kantongnya” Teriak sang sopir dari depan.

“Aku bukan copet... bukan...” Aku membela diri sambil menghindari pukulan yang bertubi-tubi dari penumpang yang lain. Namun cengkraman seorang pemuda di tanganku semakin membuatku tak berdaya. Tas di tangan ku pun hilang entah kemana.

“Buk” Sebuah tendangan keras mendarat tepat di ulu hati. Aku hanya bisa mengaduh kesakitan. Jambakan, pukulan tendangan tak bisa kuhindari, tak ada yang mau menolongku. Hanya kebencian dari wajah mereka begitu melihatku. Penglihatanku menjadi kunang-kunang. Satu pukulan lagi mendarat di bibirku, darahpun keluar. Aku tersungkur, penglihatanku berkunang-kunang dan kemudian tak ingat apa-apa lagi.

Yogyakarta, '09
Baca Selengkapnya...

Nguap

Hampir tiga jam aku hanya bisa berbengong diri tak bisa memikirkan apa yang mesti kutulis. Mataku sebenarnya sudah terkantuk-kantuk hingga hendak kurebahkan diriku melayani keinginan mata. Tapi enggan rasanya jika harus kuturuti, juga akibat fikiran-fikiran yang berkecamuk dalam otak silih berganti dan berubah-ubah tak tentu. Indah dan suram pun tak dapat ku pisahkan. Ketika keinginanku memburu ingin cepat selesaikan segala apa yang kuingin. Perasaan terus memburu, terburu-buru mungkin itulah kesanku.

Entah apalagi yang mesti kutulis, aku jadi bingung sendiri. Hanya sepi seperti kata Ikke Nurjannah. Ah... dari pada bingung cari-cari tema apa yang mesti kutulis mendingan kulanjutkan saja rencana cerpenku yang kemarin. Namun lagi -lagi aku bingung, apa yang mesti kutulis. Kusulut setengah batang kretek sisa habis makan tadi. Siapa tahu aku dapat ide atau juga inspirasi. Nah... makbul juga akhirnya, he... he...he.....

Di kamar sebelah kusaksikan kawan juga sedang nulis. Malam minggu yang membosankan, tapi dari pada bengong mending nulis. Nulis apa kek, cerpen, opini, atau luapan-luapan yang penting nulis, kan lebih bermanfaat. Suara motor di jalan membuat bising di tengah malam, aku hanya bisa misuh-misuh. Tak harus kutulis apa yang keluar dari mulutku, kurasa kau pun tahu atau jangan-jangan kau akan mengatakan hal yang sama yaitu satu kata, atau tepatnya kata itu adalah nama seekor ....... (aku yakin kau akan mengaggukkan kepalamu, dan cobalah tersenyum sedikit aja kalau tebakanku betul...?) pasti tahu ( itu nama lauk makan favoritku, termasuk juga tempe).

Nah..., aku jadi bingung lagi apa yang mesti kutulis. Aku menguap beberapa kali, kurasa mataku sudah cukup berat....mending bo-bo’ ah, siapa tahu (eh..., tempe lagi) mimpi dapat ‘kedelainya’ Aur***ih. Lumayan nambah gizi, bisa dibuat tahu bacem. “Haaae....p”

Jogjakarta, Maret '09
Baca Selengkapnya...

G-Mayor

Entah kapan aku dilahirkan atau tepatnya aku dibuat aku tidak tahu. Yang kutahu dan aku sadar saat itu aku sudah berada di dalam sebuah bungkusan plastik dan plastik itu terletak di dalam sebuah kotak kecil. Ketika itu pun aku juga tidak tahu siapa namuku,dari daerah mana asalku atau siapa yang menciptakan aku, jelas aku tak pernah tahu. Namun yang pasti aku adalah sebuah senar gitar.

Senar tiga atau G-mayor demikian pemuda gondrong berpenampilan urakan itu meyebutku. Entah dia menyebutku demikian karena aku sudah memiliki nama atau justru nama itu pemberian darinya aku tidak tahu. Ketika itu aku dimasukkannya kedalam sebuah tas atau kantong (entahlah, aku lupa) kemudian beberapa saat aku sudah berada di suatu tempat yang aku merasa asing. Aku sudah tak berada ditempatku yang dulu.

Dikeluarkannya aku dari bungkusan itu kemudian dibukanya gulungan tubuhku, lalu dipasangkannya aku di sebuah benda bolong (kemudian hari aku mengetahui benda itu bernama gitar) yang diambilnya dari dinding kamar yang kumuh itu. Kudapati tubuhku sudah bersanding dengan lima benda yang menyerupai tubuhku dan aku merasa mereka masih satu keluarga denganku. Dipetiknya kami beberapakali dan kudengar suaraku berbeda dengan yang lainnya. G-mayor sebutnya ketika dia memetikku. Entah suara itu yang disebutnya G-mayor atau diriku, tak masalah bagiku. Tubuhku terasa nyaman berada di benda bolong itu. Apalagi ketika si Gondrong itu sudah memainkan kami sambil bernyanyi, merdu, menghibur dirinya endiri. Seperti ada perasaan yang membuat aku bangga bahwa aku bermanfaat juga baginya. Tentram rasanya aku ditempat baruku ini walaupun tempat itu agak kumuh, namun ada kedamaian yang kurasakan.

***

Sudah hampir sebulan aku menempel di benda yang kusebut si bolong itu. Dan suasana yang kurasakan adalah kenyamanan dan betah rasanya aku di situ. Sering ia bersenandung sembari memainkan si bolong. Aku sisenar gitar ternyata mampu memberikan kebahagiaan. Aku mampu memberikan hiburan, membuat hati orang senang, bahkan tak jarang aku dijadikan teman curhat. Dan tak lagi sekedar sebagai penghibur aku dan saudara-saudaraku bersama sibolong sekarang sudah mampu menafkahi hidup si gondrong itu. Aku sendiri ikhlas karena kuyakin si Gondrong itu baik hati. Seperti ketika itu, kami dibawanya jalan-jalan ke lampumerah, ke bus kota - bus kota, atau pun ketika juga aku di bawanya kewarung-warung. Ya..., satu kenyataan bahwa kami, aku dan saudara-saudaraku, serta si bolong Mampu memberikan pekerjaan ditengah masa krisis ini dan menurutku hal itu lebih baik dari pada mencuri, merampok dan korupsi. Dan pekerjaan sigondrong kurasa halal. Apalagi dari penghasilannya yang tidak seberapa masih disisihkannya sedikit untuk pengemis dilampu merah itu. Sungguh mulia hatimu ‘ndrong.

***

Siang yang naas. Ketika kami berada di jalan raya dekat pasar, ternyata sedang ada razia gepeng, oleh orang-orang berseragam coklat tai kuda. Sigondrong membawa kami berlari menghindari pengejaran orang berseragam itu.. Dia terus berlari, “cepat...sepat..., sembunyi.., sembunyi” aku dan saudara-saudarku mencobak berteriak. Belum sempat dia menemukan tempat persembunyian satu cekalan tangan sangat erat dan kuat memegang pergelangan tangannya yang kurus itu. Sigondrong tampak meringis dan coba berontak tapi percuma. Kulihat orang berseragam itu dengan mata melotot segera menggiringnya memasuki truk angkutan. Kuperhatikan orang itu lagi ternyata memiliki kumis yang sangat tebal. Ah pak, kasihan sigondrong dia belum makan seingatku. Namun dengan kasarnya sikumis menendang tubuh kurus itu beberapakali. Anehnya si gondrong tidak mau membalas... bahkan kami pun ikhlas bila dijadikan sebagai alat pembalasan. Namun apa daya tubuh itu terlalu kurus. Bahkan pukulan pentungan pun melayang di punggung yang tak memiliki lapisan daging tebal lagi. Aku yakin dibalik baju kumuh itu pasti banyak memar disana-sini. Kendaraan itu pun melaju aku masih dalam dekapan si gondrong. Sesampainya di suatu tempat, kami dipisahkan dari sigondrong. Gitar bolong itu pun sudah dibawa oleh sikumis yang menangkap kami tadi.

Aku kesal dan marah. Akupun tak habis pikir, apa yang salah dengan sigondrong sampai kami harus dipisahkan? Apakah dengan penampilannya yang gondrong dan urakan seperti itu menunjukkan bahwa dia itu bersalah, berperangai buruk? Atau dia itu penjahat, perampok, pencuri?

Justru kurasa banyak penjahat yang berpakaian rapi, berdasi, baju wangi tapi mencuri uang rakyat, korupsi, menipu, obral janji. uang yang dicuri pun tak tanggung-tanggung jumlahnya. Berjuta kali lipat dari penghasilan si gondrong. Kenapa uang yang banyak itu tidak dijadikan modal usaha saja bagi sigondrong dan pemuda ataupun pengangguran-pengangguran yang lainnya...

Kekesalanku semakin menjadi-jadi saja saat ini. tak lagi bisa kurasakan belaian jari si Gondrong di tubuhku, taklagi bisa kudengar petikan gitar yang merdu dari si gondrong. Bahkan aku tak tahu apayang sedang terjadi dengan si gondrong saat ini. Gitar itu sudah berada di pangkuan si Kumis. Si Kumis itu dengan kasar memperlakukan kami. Kurasakan tangan nya yang kasar ketika menyentuhku. Apakah dia dididik untuk (berbuat kasar) seperti itu? Aku semakin kesal saja ketika dia memainkan gitar. Beberapakali dia mencoba bernyanyi tapi bukan keindahan yang kerasakan justru kekasaran. Permainanya pun kasar, jauh berbeda dengan si pemuda gondrong. Dan aku semakin kesal saja melebihi kekesalanku tadi. aku berteriak kencang, tubuhku bergoncang keras, dan “Ting...” tubuhku putus di ujung. Dan ujung tubuhku itu langsung “Cep..” tepat kutancapkan di mata sebelah kiri sikumis itu. Kudengar teriakan keras dari mulut sikumis. Ha.. ha...ha... aku puas seketika. Ah.., inilah balasan atas kekasaranmu pada si gondrong. Sementara saudara ku yang lain pasti meng ikhlaskanku karena aku terakhir datang dan bakal jadi yang pertama pergi. Ah... semestinya bukan sikumis sasaranku, tapi mata orang-orang yang ongkang-ongkang kaki tak melakukan apa-apa tapi dapat gaji, itulah mereka si pengobral janji bosnya si kumis. Gitar itu terbanting keras kelantai “Prak”.


Jogjakarta, 23 Mei 2009
Baca Selengkapnya...

Tentang Rasa

Rasa-rasanya aku merasa tak merasakan rasa apa yang kurasa tentang perasaan.....
Karena bila dirasa-rasa takkan terasa...
Dan aku tak merasa mencuri rasa sang rasa yang membuat aku berperasaan rasa yang tak punya perasaanlah yang telah mencuri rasaku...........
Karena perasaanku pada rasa hanya tentang rasa.........
Walau tetap tak berasa dan serasa hanya dirasa......
Bila dirasa rasa pun punya rasa....
Dan aku pasti punya rasa......
Mereka yang tak punya perasaan .......
Yang mencabik-cabik perasaan jiwa-jiwa yang mereka rasa bodoh..kecil... kotor... bau... hina...
Yang menuli dengan teriakan.. jeritan .. keluhan....rintihan.. serasa angin di telinga....
Yang membuta dengan keadaan serasa gulita di mata....
Yang hanya berkoar tanpa nyata serasa kentut dan sendawa....
Ah.... bila mereka merasakan....
Bila nasiku dicuri......
Bila minyakku dicuri....
Bila ikanku dicuri....
Bila waktuku dicuri....
Bila milik kita dicuri.....
Bila harga diri kita dicuri.....
Rasalah...! rasakan...!....Rasain...!
Apakah mereka tak merasa.........
Bila dirasa... rasa-rasanya mereka tak merasa karena tak merasakan...
Ah.... coba mereka punya rasa.....

- Wins-
-Yogyakarta, 29-5-2010
Baca Selengkapnya...

Narsis Itu Penting

“NARSIS ITU PENTING”. Kata seorang kawan yang juga seorang penulis di suatu sore. Entah apa yang difikirkannya saat itu. Tapi dengan mimik yang setengah bercanda ia justru melanjutkan ocehannya. ”Kita hidup di jaman sekarang ini sangat dibutuhkan yang namanya NARSIS” lanjutnya sembari dibenarkannya sisiran rambutnya yang justru membuatnya semakin mirip dengan kak Seto.

“Maksudnya apaan bro?” aku mencoba menangapi omongannya tadi. Aku yang tengah asik mainin komputer serasa terusik dengan ungkapannya.

“Kalau nggak ‘dinarsiskan’ .. mana orang tahu apa kemampuan kita..” ujarnya tampak serius.

“Nyindir lu.........?” serasa ingin kuucapkan tapi nggak jadi. Aku hanya diam mendengar ungkapannya.

“Bentuk narsis itu macam-macam. Kau lihatlah blogku, blog itu bisa dijadikan sebagai ruang narsis paling narsis, penting itu” lanjut kawanku tadi. Disulutnya sebatang kretek. Dengan santainya ia duduk menyender di tembok kamar. Terpampang jelas di tembok kamar samping tempatnya duduk sebuah rangkaian tulisan tak rapi ‘JANGAN KAU SEMPITKAN DUNIA INI DENGAN MENGURUNG KESUKSESAN DALAM KANDANG’ buah kreatifitas seorang kawan.
Aku masih diam dan hanya bisa membenarkan dalam hati apa perkataannya. Aku hanya merasakan sindiran-sindiran yang kurasakan sebagai pemantik buatku.

“Daripada cerpen juga puisimu  itu nganggur mending dipasang di blog” lanjutnya tampak semakin serius.

“Nyantai bro......, entar aku bikin blog” kataku jadi ikut serius.

“Broot.............ps........ ” kawanku tadi kentut. Nyengir ia langsung kabur, dasar kak Seto.
Dari suaranya kayaknya nggak perawan lagi. kataku dalam hati. Ah..... canda dalam keseriusan.

Wins-25 Juni 2010
Baca Selengkapnya...

berpose



























Baca Selengkapnya...

Belati Itu

Mungkin aku tak bisa ungkapkan rasa apa yang kurasa ketika kutikam kau kemarin.
Tapi jauh tersimpan perih ketika kupaksa tanganku mengelap darah yang menempel di belati itu.

Jauh aku merasakan keperihan ketika harus kutahan gejolak emosi.
Karena aku takkan membiarkan rasa kasihan menyelimuti perasaanku.
Aku bukan orang dekatmu, tapi kau memaksaku melakukan hal yang tak ingin aku lakukan. Ah......... selamat jalan sobat.
Belatiku akan selalu mengingatkanku padamu, dan kilauan matanya selalu membayangkan darah yang mengalir dari pangkal sampai ke ujung dan menetes tepat di penghujung akhir nafasmu.

-Yogyakarta, 03 Mei 2010
Baca Selengkapnya...

Jumawamu

Terpana pandanganku melihatnya
Tak jumawa bisikku tanpa telinganya
seruak ia ketika ku topang dagu
hingga bisikan itu semakin ragu

tekuk lututmu bisikku dalam teriak
riakku akan menggelombang hingga tak berpijak
mengelisah gelisah semakin membiak
sadarkah jumawamu buatku muak

Wins- Yogyakarta, 1 Juni 2010
Baca Selengkapnya...
 

Copyright © sastra bocah lali omah