G-Mayor

Entah kapan aku dilahirkan atau tepatnya aku dibuat aku tidak tahu. Yang kutahu dan aku sadar saat itu aku sudah berada di dalam sebuah bungkusan plastik dan plastik itu terletak di dalam sebuah kotak kecil. Ketika itu pun aku juga tidak tahu siapa namuku,dari daerah mana asalku atau siapa yang menciptakan aku, jelas aku tak pernah tahu. Namun yang pasti aku adalah sebuah senar gitar.

Senar tiga atau G-mayor demikian pemuda gondrong berpenampilan urakan itu meyebutku. Entah dia menyebutku demikian karena aku sudah memiliki nama atau justru nama itu pemberian darinya aku tidak tahu. Ketika itu aku dimasukkannya kedalam sebuah tas atau kantong (entahlah, aku lupa) kemudian beberapa saat aku sudah berada di suatu tempat yang aku merasa asing. Aku sudah tak berada ditempatku yang dulu.

Dikeluarkannya aku dari bungkusan itu kemudian dibukanya gulungan tubuhku, lalu dipasangkannya aku di sebuah benda bolong (kemudian hari aku mengetahui benda itu bernama gitar) yang diambilnya dari dinding kamar yang kumuh itu. Kudapati tubuhku sudah bersanding dengan lima benda yang menyerupai tubuhku dan aku merasa mereka masih satu keluarga denganku. Dipetiknya kami beberapakali dan kudengar suaraku berbeda dengan yang lainnya. G-mayor sebutnya ketika dia memetikku. Entah suara itu yang disebutnya G-mayor atau diriku, tak masalah bagiku. Tubuhku terasa nyaman berada di benda bolong itu. Apalagi ketika si Gondrong itu sudah memainkan kami sambil bernyanyi, merdu, menghibur dirinya endiri. Seperti ada perasaan yang membuat aku bangga bahwa aku bermanfaat juga baginya. Tentram rasanya aku ditempat baruku ini walaupun tempat itu agak kumuh, namun ada kedamaian yang kurasakan.

***

Sudah hampir sebulan aku menempel di benda yang kusebut si bolong itu. Dan suasana yang kurasakan adalah kenyamanan dan betah rasanya aku di situ. Sering ia bersenandung sembari memainkan si bolong. Aku sisenar gitar ternyata mampu memberikan kebahagiaan. Aku mampu memberikan hiburan, membuat hati orang senang, bahkan tak jarang aku dijadikan teman curhat. Dan tak lagi sekedar sebagai penghibur aku dan saudara-saudaraku bersama sibolong sekarang sudah mampu menafkahi hidup si gondrong itu. Aku sendiri ikhlas karena kuyakin si Gondrong itu baik hati. Seperti ketika itu, kami dibawanya jalan-jalan ke lampumerah, ke bus kota - bus kota, atau pun ketika juga aku di bawanya kewarung-warung. Ya..., satu kenyataan bahwa kami, aku dan saudara-saudaraku, serta si bolong Mampu memberikan pekerjaan ditengah masa krisis ini dan menurutku hal itu lebih baik dari pada mencuri, merampok dan korupsi. Dan pekerjaan sigondrong kurasa halal. Apalagi dari penghasilannya yang tidak seberapa masih disisihkannya sedikit untuk pengemis dilampu merah itu. Sungguh mulia hatimu ‘ndrong.

***

Siang yang naas. Ketika kami berada di jalan raya dekat pasar, ternyata sedang ada razia gepeng, oleh orang-orang berseragam coklat tai kuda. Sigondrong membawa kami berlari menghindari pengejaran orang berseragam itu.. Dia terus berlari, “cepat...sepat..., sembunyi.., sembunyi” aku dan saudara-saudarku mencobak berteriak. Belum sempat dia menemukan tempat persembunyian satu cekalan tangan sangat erat dan kuat memegang pergelangan tangannya yang kurus itu. Sigondrong tampak meringis dan coba berontak tapi percuma. Kulihat orang berseragam itu dengan mata melotot segera menggiringnya memasuki truk angkutan. Kuperhatikan orang itu lagi ternyata memiliki kumis yang sangat tebal. Ah pak, kasihan sigondrong dia belum makan seingatku. Namun dengan kasarnya sikumis menendang tubuh kurus itu beberapakali. Anehnya si gondrong tidak mau membalas... bahkan kami pun ikhlas bila dijadikan sebagai alat pembalasan. Namun apa daya tubuh itu terlalu kurus. Bahkan pukulan pentungan pun melayang di punggung yang tak memiliki lapisan daging tebal lagi. Aku yakin dibalik baju kumuh itu pasti banyak memar disana-sini. Kendaraan itu pun melaju aku masih dalam dekapan si gondrong. Sesampainya di suatu tempat, kami dipisahkan dari sigondrong. Gitar bolong itu pun sudah dibawa oleh sikumis yang menangkap kami tadi.

Aku kesal dan marah. Akupun tak habis pikir, apa yang salah dengan sigondrong sampai kami harus dipisahkan? Apakah dengan penampilannya yang gondrong dan urakan seperti itu menunjukkan bahwa dia itu bersalah, berperangai buruk? Atau dia itu penjahat, perampok, pencuri?

Justru kurasa banyak penjahat yang berpakaian rapi, berdasi, baju wangi tapi mencuri uang rakyat, korupsi, menipu, obral janji. uang yang dicuri pun tak tanggung-tanggung jumlahnya. Berjuta kali lipat dari penghasilan si gondrong. Kenapa uang yang banyak itu tidak dijadikan modal usaha saja bagi sigondrong dan pemuda ataupun pengangguran-pengangguran yang lainnya...

Kekesalanku semakin menjadi-jadi saja saat ini. tak lagi bisa kurasakan belaian jari si Gondrong di tubuhku, taklagi bisa kudengar petikan gitar yang merdu dari si gondrong. Bahkan aku tak tahu apayang sedang terjadi dengan si gondrong saat ini. Gitar itu sudah berada di pangkuan si Kumis. Si Kumis itu dengan kasar memperlakukan kami. Kurasakan tangan nya yang kasar ketika menyentuhku. Apakah dia dididik untuk (berbuat kasar) seperti itu? Aku semakin kesal saja ketika dia memainkan gitar. Beberapakali dia mencoba bernyanyi tapi bukan keindahan yang kerasakan justru kekasaran. Permainanya pun kasar, jauh berbeda dengan si pemuda gondrong. Dan aku semakin kesal saja melebihi kekesalanku tadi. aku berteriak kencang, tubuhku bergoncang keras, dan “Ting...” tubuhku putus di ujung. Dan ujung tubuhku itu langsung “Cep..” tepat kutancapkan di mata sebelah kiri sikumis itu. Kudengar teriakan keras dari mulut sikumis. Ha.. ha...ha... aku puas seketika. Ah.., inilah balasan atas kekasaranmu pada si gondrong. Sementara saudara ku yang lain pasti meng ikhlaskanku karena aku terakhir datang dan bakal jadi yang pertama pergi. Ah... semestinya bukan sikumis sasaranku, tapi mata orang-orang yang ongkang-ongkang kaki tak melakukan apa-apa tapi dapat gaji, itulah mereka si pengobral janji bosnya si kumis. Gitar itu terbanting keras kelantai “Prak”.


Jogjakarta, 23 Mei 2009

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © sastra bocah lali omah