Menjemput Kabut

Lamban kulangkahkan kaki menjemput kabut. Mataku larut akan pemandangan di sela embun yang merayap bersekutu  dengan hembusan pagi, ada rumput-rumput yang harus disiangi, ada cabai yang ranum menggoda harus dipetik, ada tanaman jagung  yang siap panen juga,  dan bulir-bulir embun di dedaunan tembakau semakin menyejukkan mata.  Sementara aroma daun bawang menambah sempurnanya pagiku saat itu. Senyumku pun bicara, petani memang luar biasa.

Langkahku terhenti sejenak, mataku tertuju pada seorang nenek yang tengah memetik cabai tak jauh dari tempatku berdiri.  Takzim, aku pun menyapanya, si nenek hanya mengangguk.  Aku bertanya-tanya, dari mana munculnya nenek itu? Padahal tadi aku tak melihatnya, tiba-tiba muncul dari kabut. Ah, pertanyaan enggak bermutu.

Kulangkahkan lagi kaki. Mata pun kembali menjelajah ke hamparan hijau yang masih berselimut kabut di hadapanku. Udara segar nan sejuk masih mengiringi langkahku. Entah apa yang berkelebat di kepala, terngiang pertanyaan seorang kawan saat sang senja menyambut kehadiran kami kemarin sore di desa itu, TANAH INI MILIK SIAPA CUY?

17/11/2013

0 komentar:

Posting Komentar

 

Copyright © sastra bocah lali omah