Keheningan yang Menikam

Dengan mata yang sombong kuperhatikan setiap denyut irama di sisi kiri tembok tempatku duduk. Seperti melihat cerita kehidupan sesosok manusia yang terasing, ditoreh lewat rangkaian cerita juga lukisan yang semakin gelap. kata-kata terangkai dalam goresan, juga irama yang tersusun dengan berantakan dan saling bertautan membentuk lukisan wajah di atas alas yang pasrah. Sama saja, masih seperti tahun-tahun yang lalu, sepi memaksaku berimajinasi, dan semakin kuyakini.. lukisanku tak serapi aku memaki.

Di tengah keheningan yang menikam, saat kamar-kamar itu semakin sunyi mencekam akibat ditinggal pergi oleh penghuninya, aku dibangunkan oleh rasa terkejut. Di celah antara tembok dan lantai kamarku, satu tangan manusia terjulur menembus kasur dengan telapak tangan menengadah ke arah mukaku. Sementara jemarinya menjepit rokok kretek yang hampir setengah batang terbakar. Di tengah rasa terkejut  kudengar suara berbisik dari balik tembok : "join..."

Ya.. Tuhan.., haruskah puasaku batal hanya karena rokok setengah batang? Tak adakah yang lebih menarik?


Yk. 23 Juli 2014 
Baca Selengkapnya...

Cerpen: Sumpah di Kampung Kami

Tiba-tiba dari segala penjuru kampung itu dikejutkan oleh satu keajaiban. Sumpah − sesuatu yang sakral yang sudah menjadi rutinitas di kampung itu, dan bahkan sudah dijadikan semacam ritual keharusan, mendadak hilang. Sumpah telah menghilang.

Kalau dulu penduduk bisa melihat Pemangku Kuasa memakai Sumpah − dilihat khalayak ramai, kini mereka tak lagi dapat menjumpainya. Kalau dulu seorang kekasih masih berani menggandeng Sumpah dengan pujaan hatinya di pelaminan, sekarang sudah tak ada lagi. Kalau dulu ada orang yang berkoar mengatasnamakan Tuhan − membawa Sumpah bersamanya, sekarang sudah tak ada lagi. Bahkan di masa yang lampau mereka kerap menyaksikan Sumpah berseliweran di jalanan, di warung atau di pasar, juga di banyak tempat lainnya, kini lenyap ditelan sunyi. Ya, Sumpah telah hilang di kampung itu, jangankan suara, baunya pun tiada. Ke mana perginya Sumpah?

Orang-orang di kampung itu telah kehilangan Sumpah. Berarti juga mereka telah kehilangan kejujuran. Sumpah adalah hidup mati mereka. Mereka perlukan Sumpah untuk menjamin kejujuran. Selama ini Sumpahlah yang meyakinkan mereka akan suatu hal, yang menghidupkan hidup dan kehidupan, yang memanusiakan manusia dan kemanusiaan di kampung. Juga, tanpa Sumpah, kejujuran sulit dipercaya. Sumpahlah yang meyakinkan kehidupan berjalan wajar, serta membangun kekeluargaan antara penduduk selama ini.

Sebelumnya, kampung itu memang dikenal sangat akrab dengan Sumpah. Bahkan mereka banyak memberikan nama untuk Sumpah. Sebut saja Sumpah Pocong, Sumpah Sampah, Sumpah Serapah, Sumpah Perkawinan, Sumpah jabatan.. dan lain-lain. Atau yang lebih melegenda, Sumpah Pemuda.. juga Sumpah Palapa. Ah, memang banyak Sumpah di kampung itu. Kadang Sumpah pun tumpah melimpah karena begitu banyaknya orang-orang yang ingin menggunakan jasanya. Tak jarang juga Sumpah pun timbul tenggelam tak tentu arah. Tapi kini Sumpah telah hilang begitu saja. Entah, apa sebab ia menghilang.

Karena Sumpah menghilang, sebagian warga kampung pun seperti kebingungan. Mereka diselimuti kegelisahan, mulai menyalahkan Pemangku Kuasa. Menurut warga kampung, Pemangku Kuasalah yang harus bertanggung jawab atas menghilangnya Sumpah. Karena Pemangku Kuasalah yang selalu mesra bersama Sumpah, bak sepasang kekasih yang di mabuk cinta. Namun Pemangku Kuasa justru menjadikan momen hilangnya Sumpah sebagai proyek tambahan. Dibuatlah Majelis Penyelamat Sumpah.. dengan anggaran yang tentu tidak murah, majelis hasil karya Pemangku Kuasa itu dibuat sedemikian rupa sehingga tersusunlah struktur kepengurusannya, yang tentu dari keluarga sendiri atau setidaknya orang dekat. Mereka ditugaskan mancari ke mana hilangnya Sumpah.

Sudah seminggu sejak dibentuknya Majelis Penyelamat Sumpah, namun tidak ada hasil yang didapat. Padahal anggaran kampung yang dikeluarkan demi terbentuknya Majelis Penyelamat Sumpah tidaklah main-main. Dan seperti yang sudah-sudah, Pemangku Kuasa selalu meminta warga agar sabar dan menunggu, menurutnya pencarian masih akan terus berjalan. Jika dalam jangka satu bulan sejak dibentuknya Majelis Penyelamat Sumpah, dan Sumpah tetap tidak ditemukan maka personil dari Majelis Penyelamat Sumpah akan ditambah lagi, agar pencarian semakin massif. Tapi meskipun diam tentu warga sudah faham dengan akal bulus Pemangku Kuasa. Ya, bagi-bagi proyek keluarga lagi.

Azan Magrib berkumandang menyambut pulang para warga dari bertani, suaranya begitu mendayu diiringi senyum sumringah pak tani dan bu tani selepas seharian bekerja di sawah−memanen hasil karya mereka. Ada yang memanggul karung gabah. Ada yang memakai gerobak. Ada juga yang memanggul reranting kering. Sumringah mereka karena panen sudah menyambutnya.

Di sudut kampung, di sebuah warung kopi. Saat malam menjelang diterangi cahaya pias remang-remang, sembari melepas penat setelah seharian bekerja di sawah terdengar jelas celoteh tawa juga kelakar dari beberapa warga kampung di sana.

“Pak, sepertinya Pemangku Kuasa itu semakin semaunya saja ya, bikin tim ini.. itu.. tapi nggak jelas hasilnya” ujar seorang pemuda sembil menyenderkan badan tegapnya yang juga gelap itu ke dinding warung yang berbilik bambu. Terdengar suara berdecit saat ia menggeser senderannya.

“Benar kamu Wan, sejak Sumpah-Sumpah itu hilang ditelan angin sepertinya sudah tak ada lagi yang mampu mengontrol mereka” si bapak yang diajak bicara menimpali, sembari mulutnya tetap mengunyah gorengan ubi. “Padahal anggaran yang kita keluarkan nggak sedikit Wan. Dari sebelum mereka terpilih sampai bikin acara-pelantikan-pelantikan segala yang perlu tetek-bengek ini itu” lanjut si bapak tampak serius.

“Iya, seandainya Sumpah masih ada di kampung ini, mungkin meraka tidak akan berbuat semaunya. Terus kira-kira ke mana hilangnya Sumpah?” Tanya si pemuda sambil manggut-manggut. Diseruputnya kopi di hadapannya. Tak jauh dari mereka terlihat beberapa orang yang baru tiba di warung kopi itu memesan sesuatu ke pelayan warung.

“Wah, kalau itu aku juga nggak tahu Wan, mungkin sembunyi di ketiak Pemangku Kuasa.. hehehe” jawab si bapak tampak terkekeh. Si pemuda pun tak mau ketinggalan terkekeh. Tampak beberapa orang memperhatikan mereka.

“Woy, ada apa ini? Kok kalian ketawa nggak ngajak-ngajak” terdengar suara dari sudut ruangan.

“Eh, Pak Saleh..hehehe. Ini lo Pak, si Pak Ali masa’ ngomongin ketiak.. hehehe.” Ujar si pemuda sembari tersenyum. Dia pun menggeser posisi duduknya saat dilihatnya Pak Saleh menghampiri. Pak Saleh pun langsung ambil posisi di antara mereka.

“Wanto.. Wanto, kamu tu lo.. mbok jangan mikirin ketiak, pikirin dulu cari istri, hati-hati nanti jadi bujang lapuk kayak Mat Moneng… hahaha” Pak Saleh yang baru menyamankan posisi bokongnya itu pun tertawa disambut juga oleh Pak Ali dan Wanto. Seisi ruangan pun pecah karena tawa mereka. Sang pemilik warung hanya tersenyum-senyum melihat polah mereka.

“Nganu Pak, si Wanto nanyain kira-kira Sumpah sembunyi di mana? Selain di ketiak ada kemungkinan lain nggak?” Pak Ali pun coba mengembalikan pasal-muasal mereka bicara.

“Di bokong… hahahaha” jawab Pak Saleh. Mereka pun kembali tertawa. “Kalau menurutku, itu sulit untuk dijawab. Biarlah Pemangku Kuasa melakukan pekerjaannya” lanjut Pak Saleh dengan muka sumringah melepas tawa.

“Terus bagaimana dengan keadaan kampung ini yang semakin carut-marut sejak ditinggal Sumpah. Masa’ kita diam saja” Wanto menimpali.

“ Aku juga bingung sebenarnya, ke mana kira-kira dia pergi. Kok pergi nggak pakai permisi” Pak Ali menambahkan.

“Menurutku, memang perlu kita mencari tahu ke mana perginya Sumpah. Tapi yang nggak kalah pentingnya adalah− mencari tahu apa yang menjadi penyebab hilangnya Sumpah.” Pak Saleh bicara sembari melanjutkan menghisap kretek di tangannya.

“Wah, benar. Kok nggak kepikiran ya. Apa penyebabnya Sumpah menghilang, malah sibuk mikirin ke mana perginya Sumpah.” Gumam Wanto, kepalanya sedikit mengangguk-angguk, sedang jarinya terlihat asik memainkan janggut yang baru tumbuh sedikit.

“Coba sekarang kita cari tahu, kapan terakhir kali kita menjumpai Sumpah” ujar Pak Ali.

“Kalau saya terakhir melihat Sumpah itu bersama Pemangku Kuasa” timpal Wanto.

“Ha... waktu sapi-sapi warga mendadak hilang itu ya?” Pak Saleh manggut-manggut. Coba menebak jalan pikiran Wanto. Dibakarnya kretek kemudian dihisap dan dihembuskan perlahan.

“ Iya Pak. Dua bulan yang lalu. Waktu itu bukankah orang-orang sedang berada di sawah kecuali Pemangku Kuasa dan para abdinya!”

“Iya Wan, kalau nggak salah kita sudah bertanya ke Pemangku Kuasa. Tapi nggak ngaku” kata Pak Saleh, dia pun diam sejenak sembari menyambar kopi di hadapannya yang sudah mendingin. Diseruputnya hingga tuntas tersisa ampas. Mungkin dia berpikir kopi itu lebih baik segera dihabiskan dari pada didahului lalat. “terus Pemangku Kuasa bersumpah, bahwa dia tidak mencuri sapi-sapi warga” lanjut Pak Saleh. Disekanya ampas kopi yang menempel di bibir.

“Ummm., seingatku justru sebulan yang lalu. Ya, waktu hilangnya dana dari penjualan beras sumbangan warga. Beras yang diambil dari sukarela warga. Memang sih, warga tak merasa berat, toh mereka berpikir juga untuk kepentingan mereka. Tapi waktu beras-beras itu terkumpul banyak dan di jual ke kota, uang hasil penjualannya pun lenyap. “ Pak Ali bicara tak lupa dihisapnya kembali kretek di jarinya.

“Oh, sayang sekali hilang, padahal rencananya akan dibangun irigasi untuk persawahan di Kampung ini” kata Pak Saleh.

“Kabar-kabarnya Pemangku Kuasa kerampokan waktu di kota Pak” kata Wanto, sembari meminta sebatang rokok milik oPak ali yang terkulai di meja.

“Ah, itu akal-akalannya saja, aku sudah ndak percaya sama mereka” terlihat kekesalan di wajah Pak Ali. “Nah, saking kesalnya saya setelah kejadian itu, bersama beberapa warga kami mendatangi Pedukuhan Pemangku Kuasa , eh mereka malah bersumpah kalau mereka memang kerampokan, dan dana yang mereka pegang amblas tak tersisa,” Pak ali bicara dengan geramnya. “Dan waktu kupaksa mereka untuk jujur, eh saya malah dipelototin, terus Pemangku Kuasa bicara kalau dia siap digantung di pohon jengkol yang ada di sawah saya seandainya terbukti menyelewengkan dana warga.”

“Ooo.., ya.. sepertinya memang waktu itu terakhir kali Sumpah ada di Kampung ini, ya.. ya.. ya..” Pak saleh tampak manggut-manggut.

“Saya itu masih jengkel kalau bertemu dengan Pemangku Kuasa. Wong waktu itu saya bertanya baik-baik, malah dipelototin. Sampai-sampai pohon jengkol saya yang ndak bersalah pun dibawa-bawa... huh, dasar.. ” cerocos Pak Ali.

“Terus sekarang kita ngapain nih Pak..?” Wanto bertanya, tampak semangatnya begitu menggebu.

“Begini saja, kita tunggu sekitar dua minggu lagi, kalau Pemangku Kuasa tidak menghasilkan apa-apa dari yang dikerjakannya, baru kita bertindak” saran Pak Saleh.

“Iya, dua minggu saja. Jangan sampai dana yang sudah di keluarkan jadi terbuang sia-sia lagi” tambah Pak Ali.

“Kalau sudah dua minggu terus tindak lanjutnya kira-kira apa ?” Wanto kembali bertanya. Tapi suaranya kali ini terdengar pelan seperti menggumam, bahkan suaranya kalah dari suara sendok yang beradu dengan gelas saat pelayan warung mengaduk kopi. Pak Saleh dan Pak Ali hanya diam menaggapi pertanyaan Wanto. Entah mungkin mereka kurang mendengar pertanyaan wanto atau sedang memikirkan sesuatu, hanya gelas kopi yang tahu. Suasana mendadak hening. Mereka pun sibuk dengan lamunan masing-masing.

Satu pemandangan menarik tiba-tiba muncul. Seorang gadis berparas ayu dengan rambut sebahu tiba-tiba hadir di warung kopi. Sontak pandangan Wanto hanya tertuju pada gadis itu. Dilihatnya gadis itu memesan sesuatu ke pelayan warung. Wanto sempat menangkap kerlingan mata sang gadis ke arahnya. Dilihatnya gadis itu terlihat serasi dengan kaos oblong biru gelap yang dikenakannya, ada gambar wajah sesosok laki-laki gondrong dengan mengenakan baret di kepala. Wanto pun tersipu-sipu sendiri. Mendadak dia jadi salah tingkah. Digaruknya kepalanya yang tak gatal. Entah pikiran apa yang berkelebat di kepalanya begitu melihat wanita berparas ayu di warung itu.

“Hoy.. jangan ngelamun… Wan ” Pak ali memecah kebisuan. Dia bicara sembari tangannya mendorong pundak Wanto. Wanto yang terkejut hanya senyum-senyum.

“Cantik sekali, siapa sih itu” Wanto bertanya-tanya. Suaranya agak pelan sebatas hanya didengar oleh meraka bertiga. Dia pun senyum-senyum sendiri.

“Wooo… dasar bocah gemblung. Itu si Maeda.. anak saya” kata Pak Ali. Wanto sedikit terkejut namun dia hanya nyengir mendengar perkataan Pak Ali.

Malam pun semakin larut, warung itu mulai beranjak sepi. Dan suara jangkrik pun datang menghampiri mengisi sunyi.

***

Dua minggu sudah berlalu. Tapi tidak ada tanda-tanda hasil dari dibentuknya Majelis Penyelamat Sumpah. Warga pun semakin geram dengan polah Pemangku Kuasa. Namun kegeraman warga tak mampu mereka tunjukkan di depan hidung Pemangku Kuasa. Mereka sadar telah dikibuli oleh Pemangku Kuasa. Namun apalah daya, mereka seakan tak punya kuasa. Ada yang ingin melawan, tapi yang lain justru coba mencegahnya. Ada juga yang masa bodoh dengan tingkah-polah Pemangku Kuasa, bahkan tak sadar bahwa dia tengah dikibuli. Bahkan ada yang tahu namun tak mau tahu.

Saat mentari baru saja naik sepenggalan, pagi itu warga akhirnya dapat dikumpulkan. Entah bagaimana caranya, justru Maeda anak Pak Ali mampu mempengaruhi warga untuk berkumpul bersama dan berencana menuntut dibubarkannya Majelis Penyelamat Sumpah, karena warga tak melihat ada tanda-tanda Sumpah ditemukan.

Warga pun berkumpul menuntut dibubarkannya Majelis Penyelamat Sumpah. Namun ketika warga sudah berkumpul di depan Pedukuhan Pemangku Kuasa, rumah dinas itu terlihat sepi, tak ada aktivitas di sana. Wargapun bertanya ke petugas jaga di pedukuhan itu. Namun petugas jaga justru mengatakan Pemangku Kuasa dan para abdi sedang blusukan ke sawah-sawah. Blusukan!!

“Aneh, wong kita nggak ada yang ke sawah.. mereka malah blusukan. Ada-ada saja” gerutu seorang warga. Diikuti anggukan oleh beberapa warga yang lainnya.
“Jangan-jangan mereka malah plesiran ke kota.” Ujar warga yang lain.

“Bapak-bapak dan ibu-ibu, juga saudara-saudara semua, bagaimana kalau kita datangi saja ke sawah, siapa tahu dia memang sedang blusukan ke sawah” Wanto bicara sedikit lantang. Dia terlihat ada di tengah-tengah warga. Tak jauh darinya terlihat juga Pak Saleh yang terlihat mengenakan peci leceknya. Sedang Pak Ali berdiri di samping Maeda anaknya.

“Iya, betul kata mas Wanto, sebaiknya kita segera bergegas. Jangan sampai dia menghilang. Kita harus menuntut kejelasan jika memang mereka bekerja.” Maeda pun ikut bicara. Nada suaranya terdengar begitu menggebu-gebu.

Warga pun akhirnya menuju ke sawah. Melintasi jalan setapak, melewati beberapa kelokan, melalui beberapa sawah dan terlihat padi yang sudah menguning tanda siap dipanen. Beberapa warga ada yang sudah memanen, sebagian belum. Di tengah langkah mereka, terdengar cerita-cerita dari mulut mereka tentang kapan mereka akan memanen atau tentang tengkulak yang terus menggerogoti hasil panen warga. Juga tentang harga pupuk yang semakin melonjak tinggi.

Hari sudah menjelang siang, mereka sudah melintasi beberapa pematang sawah, namun tak juga menemukan Pemangku Kuasa, atau setidaknya abdinya. Namun mereka terus melangkah dengan harapan apa yang mereka lakukan bukanlah sebuah kesia-siaan. Hembusan angin yang menerpa menjadi sedikit penghibur bagi mereka.

Di tengah kebingungan yang melanda warga kampung, saat terik mentari di atas kepala, terlihat dengan jelas sesosok orang tengah duduk berteduh di bawah rindangnya rumpunan bambu tak jauh dari sawah Pak Ali. Semakin dekat semakin jelas sosok orang itu.

“Hei.. itu orang yang kita cari, Pemangku Kuasa” teriak seorang warga dengan riangnya seibarat menemukan secuil air de tengah dahaga. Para warga pun segera mempercepat langkah. Orang yang mereka tuju pun seperti terkejut melihat kerumunan warga menghampirinya. Dianjakkannya tubuhnya dan berdiri dengan berusaha dibuat segagah mungkin, dengan maksud agar terlihat berwibawa.

“Eh, kok ramai-ramai nih, ada apa ya?” Pemangku kuasa membuka obrolan begitu dilihatnya warga sudah mendekat ke arahnya.

“Begini pak, sebenarnya kita hanya minta kejelasan dari bapak sebagai Pemangku Kuasa” Pak Saleh bicara mewakili warga “itu pak, masalah Sumpah, bukankah bapak sudah membentuk Majelis Penyelamat Sumpah, tapi kok kita tidak melihat hasilnya. Ini sudah satu bulan lebih lo pak.” Lanjut Pak Saleh.

“Oh, itu.. saya kira ada apa” Pemangku Kuasa coba menanggapi perkataan Pak Saleh.

“Ini masalah serius pak, kita nggak mau terus-terusan dibohongi, kalau bapak memang serius dengan pekerjaan bapak, tentu kita melihat hasilnya, atau setidaknya ada yang didapatkan mungkin petunjuk, meskipun kecil mestinya ada dong, kalau tidak mending bubarkan saja Majelis Penyelamat Sumpah itu” Maeda yang tak jauh berdiri dari Pak Saleh turut berujar.
“Iya.. betul itu.. “ teriak beberapa warga hampir bersamaan.

“Aduh.. aduh… siapa yang bohong sih, wong kenyataannya kita memang belum mendapatkan hasil apa-apa” balas Pemangku Kuasa.

“Huuu…” seperti kur, beberapa warga berteriak bersamaan.

“Baiklah, warga kampung yang saya cintai dengan segenap jiwa dan raga saya, kita memang sedang berduka cita atas hilangnya Sumpah, namun bukan berarti dengan hilangnya Sumpah kalian dengan seenaknya menuduh Pemangku Kuasa dengan tuduhan yang tidak mendasar. Pada dasarnya Sumpah sendirilah yang menghilangkan dirinya sendiri, kalian harus tahu itu.”

“Halah pak, kami ini memang bodoh, kampungan. Tapi kami ini tidak bermaksud meminta apa-apa dari bapak, bapak cukup menjalankan amanah dari warga dengan semestinya. Itu sudah cukup kok.” Seloroh Wanto yang tampak duduk di tengah-tengah warga. “Oya pak, ngomong-ngomong kok bapak sendirian, di mana para Abdi Pemangku Kuasa dan orang-orang Majelis Penyelamat Sumpah?” tanya Wanto.

“Ummm...e..eng, nganu.. mereka sedang mencari Sumpah, iya mencari Sumpah” jawab Pemangku Kuasa sedikit tergagap.

“Huh, dasar tukang tipu.. bukannya mereka sedang plesiran ke kota, aku kemarin melihat meraka saat menuju kota. “ timpal seorang warga.

“Oooo.. iya, saya lupa” balas Pemangku Kuasa dengan sedikit paksaan senyuman. Digaruknya kepalanya yang tak gatal.

“Huuuuuuu...” teriak warga bersamaan. Pemangku Kuasa pun semakin salah tingkah.

“Ya sudah begini saja, kalau Sumpah memang harus ditemukan sebaiknya Majelis Penyelamat Sumpah ditambah lagi orang-orangnya. Wanto, Endi, Joko, dan yang lainnya juga bisa saya masukkan dalam Tim. Bagaimana?” usul Pemangku Kuasa.

“Ah, nggak perlu. Buang-buang Tenaga dan biaya saja.” Pak Ali yang sedari tadi diam terdengar menyahut dari kejauhan.

“Hooooyyy.., bukankah itu Sumpah? Iya, itu Sumpah..” Teriak seorang warga sembari menunjuk ke arah pohon Jengkol di samping pematang sawah Pak Ali. Teriakannya mengejutkan para warga.

“Yaaa... itu Sumpah” teriak para warga. Mereka pun berkerubut menuju pohon jengkol yang ditunjuk seorang warga tadi. Setelah mendekat para warga pun dapat melihat dengan jelas sang Sumpah terkulai kuyu terikat rapat menggantung di pohon jengkol milik Pak Ali.

“Ayo yang muda, siapa yang mau melepaskan ikatan yang melilit Sumpah itu.” Ujar pak Ali.

Tanpa bicara dan segera berinisiatif, Wanto pun langsung memanjat pohon jengkol itu, memeng agak licin, namun dia tetap berusaha menggapai Sumpah dan dia pun berhasil menggapainya. Dengan perlahan dan terlihat cekatan Wanto pun melepaskan Sumpah dari ikatan yang melilit itu. Wanto terlihat tersenyum saat berhasil melepaskan Sumpah dari ikatan yang membelenggunya.

“Yoyoi... aku berhasil” teriak Wanto begitu gembiranya. saking gembiranya tanpa disadarinya kakinya terlepas dari pijakan. Dia pun terpeleset dan jatuh dari pohon jengkol itu.

Buk!! Wanto jatuh tepat di tumpukan jerami. Maeda dan beberapa warga pun terpekik sembari berlarian megerubuti wanto yang terjatuh.

Saat warga sibuk mengerubuti tubuh si Wanto, tidak ada yang menyadari seseorang di antara mereka telah menhilang. Ya, Pemangku Kuasa telah menghilang dari kerumunan mereka. sementara Pak Ali dan Pak Saleh dan beberapa orang segera memeriksa keadaan Wanto.

“Pak, aku ingin menikah. Sumpah.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Wanto sedikit terbata-bata. Pak Ali dan Pak Saleh tersenyum mendengar ucapan Wanto, sudut mata Wanto pun mencari-cari di mana Maeda, didapatinya wajah Maeda tengah tersenyum ke arahnya. Tak berapa lama Wanto pun tak sadarkan diri sembari memeluk Sumpah.

***

Sejak ditemukannya Sumpah, warga mulai mengatur kehidupannya kembali seperti sedia kala. Namun satu hal yang aneh, Pemangku Kuasa tidak pernah muncul di hadapan warga. Batang hidungya pun lenyap seiring ditemukannya Sumpah. Seminggu berselang, ada kabar yang begitu mengejutkan tentang Pemangku Kuasa. Ya, dia didapati oleh seorang warga tergantung di pohon jengkol dengan tubuh membusuk digerogoti Sumpah.

Yogyakarta, 20 Juli 2014

Oleh : Wins

Catatan:
Ide penulisan cerpen ini berangkat dari kegelisahan saya akan fenomena 'sumpah' yang terjadi di negeri ini. Awalnya saya melihat di media -- sumpah/ ucapan Amin Rais : yang akan berjalan kaki dari Jakarta ke Surabaya. Kemudian saya jadi teringat dengan kasus Anas Urbaningrum yang bersumpah siap digantung di Monas, atau beberapa pejabat negeri yg dengan tega mengkhianati nuraninya sendiri dengan korupsi. Saya jadi kasihan dengan 'sumpah' itu sendiri. Seakan-akan sumpah tidak ada artinya lagi. dan hanya dijadikan pelarian oleh orang-orang yang frustasi. Ya, sumpah yang sudah menjadi simbol kesakralan itu mendadak hilang.

Nah, terkait dengan PILPRES kali ini, kita lihat banyak orang yang bersumpah, contohnya 'Mat-Dani yang berjanji siap dikebiri, anak Bang Haji yang pengen tinggal di luar negeri, juga mbah Amin yang akan ke Jogja dari Jakarta berjalan kaki. atau relawati yang siap bugil keliling Bundaran HI. Nah.. pertanyaannya kemudian mereka berani nggak melakukan itu seberani mereka mengucap sumpah? Kalau itu (mengucap sumpah) mereka anggap hanya sekedar guyonan, maka alangkah tiada harga dirinya 'sumpah'.
Baca Selengkapnya...

Menatap Gamang

alat produksi pun melayang, mungkin dicuri...
menatap hari bak pecundang...
perut pun tak kenal kompromi...
tatapan mata semakin gamang..
memerah bukan amarah..
aku kehilangan..

lalu,
serangkai cerita menepi tiada berkesudahan..
langkah gemulai jari.. hanya melangkah tak berturut..
aku disudutkan oleh keharusan...
semakin tersudut hingga asa itu hilang...
lengkap sudah,
ah.. serasa tak mampu.. serasa tak bisa..

kuambil catatan lusuh di kantong kiri..
kubuka dan.. ada gerak nadi yang terukir tak rapi..
kusapih hingga ia merepih, dan kalbu pun menjamah lirih..
membelai jiwaku yang semakin ringkih..

Yk, 08 Juli 2014
Baca Selengkapnya...

Untuk Seorang Kawan

Kawan, kemarin ku melintas di jalan yang biasa kau lalui…
pada hari-hari yang dihembuskan kering,
teriknya yang menyengat,
saat serakmu begitu mendahaga pilu.

Tanpa sengaja segala kenang tentangmu bermain di pelupuk mata
ya, senyummu terkembang mangabarkan hari depan yang gilang-gemilang..
kini ragamu tak lagi di sini tapi yakinku,
derap langkahmu masih menggebu dalam jejak-jejak kami..
kini kau hanya berteman sepi..
tapi teriakmu masih lantang memecah sombongnya hari.. congkaknya negeri..
tersemat dalam jiwa-jiwa kami..

Satu pesan yang tersisa..
mulailah.. mari buka mata dan telinga kita
kukuhkan tekad
kepalkan tangan satukan jiwa
rapatkan barisan
demi satu tujuan untuk cemerlangnya hari depan..

10-03-2012
*Untuk Yoko,
dibaca di Taman Budaya Yogyakarta,
acara: DIA YANG TAK KUNJUNG PADAM
Baca Selengkapnya...
 

Copyright © sastra bocah lali omah