Tiba-tiba dari segala penjuru kampung itu dikejutkan oleh satu
keajaiban. Sumpah − sesuatu yang sakral yang sudah menjadi rutinitas di
kampung itu, dan bahkan sudah dijadikan semacam ritual keharusan,
mendadak hilang. Sumpah telah menghilang.
Kalau dulu penduduk bisa melihat Pemangku Kuasa memakai Sumpah −
dilihat khalayak ramai, kini mereka tak lagi dapat menjumpainya. Kalau
dulu seorang kekasih masih berani menggandeng Sumpah dengan pujaan
hatinya di pelaminan, sekarang sudah tak ada lagi. Kalau dulu ada
orang yang berkoar mengatasnamakan Tuhan − membawa Sumpah bersamanya,
sekarang sudah tak ada lagi. Bahkan di masa yang lampau mereka kerap
menyaksikan Sumpah berseliweran di jalanan, di warung atau di pasar,
juga di banyak tempat lainnya, kini lenyap ditelan sunyi. Ya, Sumpah
telah hilang di kampung itu, jangankan suara, baunya pun tiada. Ke mana
perginya Sumpah?
Orang-orang di kampung itu telah kehilangan Sumpah. Berarti juga
mereka telah kehilangan kejujuran. Sumpah adalah hidup mati mereka.
Mereka perlukan Sumpah untuk menjamin kejujuran. Selama ini Sumpahlah
yang meyakinkan mereka akan suatu hal, yang menghidupkan hidup dan
kehidupan, yang memanusiakan manusia dan kemanusiaan di kampung. Juga,
tanpa Sumpah, kejujuran sulit dipercaya. Sumpahlah yang meyakinkan
kehidupan berjalan wajar, serta membangun kekeluargaan antara penduduk
selama ini.
Sebelumnya, kampung itu memang dikenal sangat akrab dengan Sumpah.
Bahkan mereka banyak memberikan nama untuk Sumpah. Sebut saja Sumpah
Pocong, Sumpah Sampah, Sumpah Serapah, Sumpah Perkawinan, Sumpah
jabatan.. dan lain-lain. Atau yang lebih melegenda, Sumpah Pemuda.. juga
Sumpah Palapa. Ah, memang banyak Sumpah di kampung itu. Kadang Sumpah
pun tumpah melimpah karena begitu banyaknya orang-orang yang ingin
menggunakan jasanya. Tak jarang juga Sumpah pun timbul tenggelam tak
tentu arah. Tapi kini Sumpah telah hilang begitu saja. Entah, apa sebab
ia menghilang.
Karena Sumpah menghilang, sebagian warga kampung pun seperti
kebingungan. Mereka diselimuti kegelisahan, mulai menyalahkan Pemangku
Kuasa. Menurut warga kampung, Pemangku Kuasalah yang harus bertanggung
jawab atas menghilangnya Sumpah. Karena Pemangku Kuasalah yang selalu
mesra bersama Sumpah, bak sepasang kekasih yang di mabuk cinta. Namun
Pemangku Kuasa justru menjadikan momen hilangnya Sumpah sebagai proyek
tambahan. Dibuatlah Majelis Penyelamat Sumpah.. dengan anggaran yang
tentu tidak murah, majelis hasil karya Pemangku Kuasa itu dibuat
sedemikian rupa sehingga tersusunlah struktur kepengurusannya, yang
tentu dari keluarga sendiri atau setidaknya orang dekat. Mereka
ditugaskan mancari ke mana hilangnya Sumpah.
Sudah seminggu sejak dibentuknya Majelis Penyelamat Sumpah, namun
tidak ada hasil yang didapat. Padahal anggaran kampung yang dikeluarkan
demi terbentuknya Majelis Penyelamat Sumpah tidaklah main-main. Dan
seperti yang sudah-sudah, Pemangku Kuasa selalu meminta warga agar sabar
dan menunggu, menurutnya pencarian masih akan terus berjalan. Jika
dalam jangka satu bulan sejak dibentuknya Majelis Penyelamat Sumpah, dan
Sumpah tetap tidak ditemukan maka personil dari Majelis Penyelamat
Sumpah akan ditambah lagi, agar pencarian semakin massif. Tapi meskipun
diam tentu warga sudah faham dengan akal bulus Pemangku Kuasa. Ya,
bagi-bagi proyek keluarga lagi.
Azan Magrib berkumandang menyambut pulang para warga dari bertani,
suaranya begitu mendayu diiringi senyum sumringah pak tani dan bu tani
selepas seharian bekerja di sawah−memanen hasil karya mereka. Ada yang
memanggul karung gabah. Ada yang memakai gerobak. Ada juga yang
memanggul reranting kering. Sumringah mereka karena panen sudah
menyambutnya.
Di sudut kampung, di sebuah warung kopi. Saat malam menjelang
diterangi cahaya pias remang-remang, sembari melepas penat setelah
seharian bekerja di sawah terdengar jelas celoteh tawa juga kelakar dari
beberapa warga kampung di sana.
“Pak, sepertinya Pemangku Kuasa itu semakin semaunya saja ya, bikin
tim ini.. itu.. tapi nggak jelas hasilnya” ujar seorang pemuda sembil
menyenderkan badan tegapnya yang juga gelap itu ke dinding warung yang
berbilik bambu. Terdengar suara berdecit saat ia menggeser senderannya.
“Benar kamu Wan, sejak Sumpah-Sumpah itu hilang ditelan angin
sepertinya sudah tak ada lagi yang mampu mengontrol mereka” si bapak
yang diajak bicara menimpali, sembari mulutnya tetap mengunyah gorengan
ubi. “Padahal anggaran yang kita keluarkan nggak sedikit Wan. Dari
sebelum mereka terpilih sampai bikin acara-pelantikan-pelantikan segala
yang perlu tetek-bengek ini itu” lanjut si bapak tampak serius.
“Iya, seandainya Sumpah masih ada di kampung ini, mungkin meraka
tidak akan berbuat semaunya. Terus kira-kira ke mana hilangnya Sumpah?”
Tanya si pemuda sambil manggut-manggut. Diseruputnya kopi di hadapannya.
Tak jauh dari mereka terlihat beberapa orang yang baru tiba di warung
kopi itu memesan sesuatu ke pelayan warung.
“Wah, kalau itu aku juga nggak tahu Wan, mungkin sembunyi di ketiak
Pemangku Kuasa.. hehehe” jawab si bapak tampak terkekeh. Si pemuda pun
tak mau ketinggalan terkekeh. Tampak beberapa orang memperhatikan
mereka.
“Woy, ada apa ini? Kok kalian ketawa nggak ngajak-ngajak” terdengar suara dari sudut ruangan.
“Eh, Pak Saleh..hehehe. Ini lo Pak, si Pak Ali masa’ ngomongin
ketiak.. hehehe.” Ujar si pemuda sembari tersenyum. Dia pun menggeser
posisi duduknya saat dilihatnya Pak Saleh menghampiri. Pak Saleh pun
langsung ambil posisi di antara mereka.
“Wanto.. Wanto, kamu tu lo.. mbok jangan mikirin ketiak, pikirin
dulu cari istri, hati-hati nanti jadi bujang lapuk kayak Mat Moneng…
hahaha” Pak Saleh yang baru menyamankan posisi bokongnya itu pun tertawa
disambut juga oleh Pak Ali dan Wanto. Seisi ruangan pun pecah karena
tawa mereka. Sang pemilik warung hanya tersenyum-senyum melihat polah
mereka.
“Nganu Pak, si Wanto nanyain kira-kira Sumpah sembunyi di mana?
Selain di ketiak ada kemungkinan lain nggak?” Pak Ali pun coba
mengembalikan pasal-muasal mereka bicara.
“Di bokong… hahahaha” jawab Pak Saleh. Mereka pun kembali tertawa.
“Kalau menurutku, itu sulit untuk dijawab. Biarlah Pemangku Kuasa
melakukan pekerjaannya” lanjut Pak Saleh dengan muka sumringah melepas
tawa.
“Terus bagaimana dengan keadaan kampung ini yang semakin carut-marut
sejak ditinggal Sumpah. Masa’ kita diam saja” Wanto menimpali.
“ Aku juga bingung sebenarnya, ke mana kira-kira dia pergi. Kok pergi nggak pakai permisi” Pak Ali menambahkan.
“Menurutku, memang perlu kita mencari tahu ke mana perginya Sumpah.
Tapi yang nggak kalah pentingnya adalah− mencari tahu apa yang menjadi
penyebab hilangnya Sumpah.” Pak Saleh bicara sembari melanjutkan
menghisap kretek di tangannya.
“Wah, benar. Kok nggak kepikiran ya. Apa penyebabnya Sumpah
menghilang, malah sibuk mikirin ke mana perginya Sumpah.” Gumam Wanto,
kepalanya sedikit mengangguk-angguk, sedang jarinya terlihat asik
memainkan janggut yang baru tumbuh sedikit.
“Coba sekarang kita cari tahu, kapan terakhir kali kita menjumpai Sumpah” ujar Pak Ali.
“Kalau saya terakhir melihat Sumpah itu bersama Pemangku Kuasa” timpal Wanto.
“Ha... waktu sapi-sapi warga mendadak hilang itu ya?” Pak Saleh
manggut-manggut. Coba menebak jalan pikiran Wanto. Dibakarnya kretek
kemudian dihisap dan dihembuskan perlahan.
“ Iya Pak. Dua bulan yang lalu. Waktu itu bukankah orang-orang sedang berada di sawah kecuali Pemangku Kuasa dan para abdinya!”
“Iya Wan, kalau nggak salah kita sudah bertanya ke Pemangku Kuasa.
Tapi nggak ngaku” kata Pak Saleh, dia pun diam sejenak sembari menyambar
kopi di hadapannya yang sudah mendingin. Diseruputnya hingga tuntas
tersisa ampas. Mungkin dia berpikir kopi itu lebih baik segera
dihabiskan dari pada didahului lalat. “terus Pemangku Kuasa bersumpah,
bahwa dia tidak mencuri sapi-sapi warga” lanjut Pak Saleh. Disekanya
ampas kopi yang menempel di bibir.
“Ummm., seingatku justru sebulan yang lalu. Ya, waktu hilangnya dana
dari penjualan beras sumbangan warga. Beras yang diambil dari sukarela
warga. Memang sih, warga tak merasa berat, toh mereka berpikir juga
untuk kepentingan mereka. Tapi waktu beras-beras itu terkumpul banyak
dan di jual ke kota, uang hasil penjualannya pun lenyap. “ Pak Ali
bicara tak lupa dihisapnya kembali kretek di jarinya.
“Oh, sayang sekali hilang, padahal rencananya akan dibangun irigasi untuk persawahan di Kampung ini” kata Pak Saleh.
“Kabar-kabarnya Pemangku Kuasa kerampokan waktu di kota Pak” kata
Wanto, sembari meminta sebatang rokok milik oPak ali yang terkulai di
meja.
“Ah, itu akal-akalannya saja, aku sudah ndak percaya sama mereka”
terlihat kekesalan di wajah Pak Ali. “Nah, saking kesalnya saya setelah
kejadian itu, bersama beberapa warga kami mendatangi Pedukuhan Pemangku
Kuasa , eh mereka malah bersumpah kalau mereka memang kerampokan, dan
dana yang mereka pegang amblas tak tersisa,” Pak ali bicara dengan
geramnya. “Dan waktu kupaksa mereka untuk jujur, eh saya malah
dipelototin, terus Pemangku Kuasa bicara kalau dia siap digantung di
pohon jengkol yang ada di sawah saya seandainya terbukti menyelewengkan
dana warga.”
“Ooo.., ya.. sepertinya memang waktu itu terakhir kali Sumpah ada di
Kampung ini, ya.. ya.. ya..” Pak saleh tampak manggut-manggut.
“Saya itu masih jengkel kalau bertemu dengan Pemangku Kuasa. Wong
waktu itu saya bertanya baik-baik, malah dipelototin. Sampai-sampai
pohon jengkol saya yang ndak bersalah pun dibawa-bawa... huh, dasar.. ”
cerocos Pak Ali.
“Terus sekarang kita ngapain nih Pak..?” Wanto bertanya, tampak semangatnya begitu menggebu.
“Begini saja, kita tunggu sekitar dua minggu lagi, kalau Pemangku
Kuasa tidak menghasilkan apa-apa dari yang dikerjakannya, baru kita
bertindak” saran Pak Saleh.
“Iya, dua minggu saja. Jangan sampai dana yang sudah di keluarkan jadi terbuang sia-sia lagi” tambah Pak Ali.
“Kalau sudah dua minggu terus tindak lanjutnya kira-kira apa ?”
Wanto kembali bertanya. Tapi suaranya kali ini terdengar pelan seperti
menggumam, bahkan suaranya kalah dari suara sendok yang beradu dengan
gelas saat pelayan warung mengaduk kopi. Pak Saleh dan Pak Ali hanya
diam menaggapi pertanyaan Wanto. Entah mungkin mereka kurang mendengar
pertanyaan wanto atau sedang memikirkan sesuatu, hanya gelas kopi yang
tahu. Suasana mendadak hening. Mereka pun sibuk dengan lamunan
masing-masing.
Satu pemandangan menarik tiba-tiba muncul. Seorang gadis berparas
ayu dengan rambut sebahu tiba-tiba hadir di warung kopi. Sontak
pandangan Wanto hanya tertuju pada gadis itu. Dilihatnya gadis itu
memesan sesuatu ke pelayan warung. Wanto sempat menangkap kerlingan mata
sang gadis ke arahnya. Dilihatnya gadis itu terlihat serasi dengan kaos
oblong biru gelap yang dikenakannya, ada gambar wajah sesosok laki-laki
gondrong dengan mengenakan baret di kepala. Wanto pun tersipu-sipu
sendiri. Mendadak dia jadi salah tingkah. Digaruknya kepalanya yang tak
gatal. Entah pikiran apa yang berkelebat di kepalanya begitu melihat
wanita berparas ayu di warung itu.
“Hoy.. jangan ngelamun… Wan ” Pak ali memecah kebisuan. Dia bicara
sembari tangannya mendorong pundak Wanto. Wanto yang terkejut hanya
senyum-senyum.
“Cantik sekali, siapa sih itu” Wanto bertanya-tanya. Suaranya agak
pelan sebatas hanya didengar oleh meraka bertiga. Dia pun senyum-senyum
sendiri.
“Wooo… dasar bocah gemblung. Itu si Maeda.. anak saya” kata Pak Ali.
Wanto sedikit terkejut namun dia hanya nyengir mendengar perkataan Pak
Ali.
Malam pun semakin larut, warung itu mulai beranjak sepi. Dan suara jangkrik pun datang menghampiri mengisi sunyi.
***
Dua minggu sudah berlalu. Tapi tidak ada tanda-tanda hasil dari
dibentuknya Majelis Penyelamat Sumpah. Warga pun semakin geram dengan
polah Pemangku Kuasa. Namun kegeraman warga tak mampu mereka tunjukkan
di depan hidung Pemangku Kuasa. Mereka sadar telah dikibuli oleh
Pemangku Kuasa. Namun apalah daya, mereka seakan tak punya kuasa. Ada
yang ingin melawan, tapi yang lain justru coba mencegahnya. Ada juga
yang masa bodoh dengan tingkah-polah Pemangku Kuasa, bahkan tak sadar
bahwa dia tengah dikibuli. Bahkan ada yang tahu namun tak mau tahu.
Saat mentari baru saja naik sepenggalan, pagi itu warga akhirnya
dapat dikumpulkan. Entah bagaimana caranya, justru Maeda anak Pak Ali
mampu mempengaruhi warga untuk berkumpul bersama dan berencana menuntut
dibubarkannya Majelis Penyelamat Sumpah, karena warga tak melihat ada
tanda-tanda Sumpah ditemukan.
Warga pun berkumpul menuntut dibubarkannya Majelis Penyelamat
Sumpah. Namun ketika warga sudah berkumpul di depan Pedukuhan Pemangku
Kuasa, rumah dinas itu terlihat sepi, tak ada aktivitas di sana.
Wargapun bertanya ke petugas jaga di pedukuhan itu. Namun petugas jaga
justru mengatakan Pemangku Kuasa dan para abdi sedang blusukan ke
sawah-sawah. Blusukan!!
“Aneh, wong kita nggak ada yang ke sawah.. mereka malah blusukan.
Ada-ada saja” gerutu seorang warga. Diikuti anggukan oleh beberapa warga
yang lainnya.
“Jangan-jangan mereka malah plesiran ke kota.” Ujar warga yang lain.
“Bapak-bapak dan ibu-ibu, juga saudara-saudara semua, bagaimana
kalau kita datangi saja ke sawah, siapa tahu dia memang sedang blusukan
ke sawah” Wanto bicara sedikit lantang. Dia terlihat ada di
tengah-tengah warga. Tak jauh darinya terlihat juga Pak Saleh yang
terlihat mengenakan peci leceknya. Sedang Pak Ali berdiri di samping
Maeda anaknya.
“Iya, betul kata mas Wanto, sebaiknya kita segera bergegas. Jangan
sampai dia menghilang. Kita harus menuntut kejelasan jika memang mereka
bekerja.” Maeda pun ikut bicara. Nada suaranya terdengar begitu
menggebu-gebu.
Warga pun akhirnya menuju ke sawah. Melintasi jalan setapak,
melewati beberapa kelokan, melalui beberapa sawah dan terlihat padi yang
sudah menguning tanda siap dipanen. Beberapa warga ada yang sudah
memanen, sebagian belum. Di tengah langkah mereka, terdengar
cerita-cerita dari mulut mereka tentang kapan mereka akan memanen atau
tentang tengkulak yang terus menggerogoti hasil panen warga. Juga
tentang harga pupuk yang semakin melonjak tinggi.
Hari sudah menjelang siang, mereka sudah melintasi beberapa pematang
sawah, namun tak juga menemukan Pemangku Kuasa, atau setidaknya
abdinya. Namun mereka terus melangkah dengan harapan apa yang mereka
lakukan bukanlah sebuah kesia-siaan. Hembusan angin yang menerpa menjadi
sedikit penghibur bagi mereka.
Di tengah kebingungan yang melanda warga kampung, saat terik mentari
di atas kepala, terlihat dengan jelas sesosok orang tengah duduk
berteduh di bawah rindangnya rumpunan bambu tak jauh dari sawah Pak Ali.
Semakin dekat semakin jelas sosok orang itu.
“Hei.. itu orang yang kita cari, Pemangku Kuasa” teriak seorang
warga dengan riangnya seibarat menemukan secuil air de tengah dahaga.
Para warga pun segera mempercepat langkah. Orang yang mereka tuju pun
seperti terkejut melihat kerumunan warga menghampirinya. Dianjakkannya
tubuhnya dan berdiri dengan berusaha dibuat segagah mungkin, dengan
maksud agar terlihat berwibawa.
“Eh, kok ramai-ramai nih, ada apa ya?” Pemangku kuasa membuka obrolan begitu dilihatnya warga sudah mendekat ke arahnya.
“Begini pak, sebenarnya kita hanya minta kejelasan dari bapak
sebagai Pemangku Kuasa” Pak Saleh bicara mewakili warga “itu pak,
masalah Sumpah, bukankah bapak sudah membentuk Majelis Penyelamat
Sumpah, tapi kok kita tidak melihat hasilnya. Ini sudah satu bulan lebih
lo pak.” Lanjut Pak Saleh.
“Oh, itu.. saya kira ada apa” Pemangku Kuasa coba menanggapi perkataan Pak Saleh.
“Ini masalah serius pak, kita nggak mau terus-terusan dibohongi,
kalau bapak memang serius dengan pekerjaan bapak, tentu kita melihat
hasilnya, atau setidaknya ada yang didapatkan mungkin petunjuk, meskipun
kecil mestinya ada dong, kalau tidak mending bubarkan saja Majelis
Penyelamat Sumpah itu” Maeda yang tak jauh berdiri dari Pak Saleh turut
berujar.
“Iya.. betul itu.. “ teriak beberapa warga hampir bersamaan.
“Aduh.. aduh… siapa yang bohong sih, wong kenyataannya kita memang belum mendapatkan hasil apa-apa” balas Pemangku Kuasa.
“Huuu…” seperti kur, beberapa warga berteriak bersamaan.
“Baiklah, warga kampung yang saya cintai dengan segenap jiwa dan
raga saya, kita memang sedang berduka cita atas hilangnya Sumpah, namun
bukan berarti dengan hilangnya Sumpah kalian dengan seenaknya menuduh
Pemangku Kuasa dengan tuduhan yang tidak mendasar. Pada dasarnya Sumpah
sendirilah yang menghilangkan dirinya sendiri, kalian harus tahu itu.”
“Halah pak, kami ini memang bodoh, kampungan. Tapi kami ini tidak
bermaksud meminta apa-apa dari bapak, bapak cukup menjalankan amanah
dari warga dengan semestinya. Itu sudah cukup kok.” Seloroh Wanto yang
tampak duduk di tengah-tengah warga. “Oya pak, ngomong-ngomong kok bapak
sendirian, di mana para Abdi Pemangku Kuasa dan orang-orang Majelis
Penyelamat Sumpah?” tanya Wanto.
“Ummm...e..eng, nganu.. mereka sedang mencari Sumpah, iya mencari Sumpah” jawab Pemangku Kuasa sedikit tergagap.
“Huh, dasar tukang tipu.. bukannya mereka sedang plesiran ke kota,
aku kemarin melihat meraka saat menuju kota. “ timpal seorang warga.
“Oooo.. iya, saya lupa” balas Pemangku Kuasa dengan sedikit paksaan senyuman. Digaruknya kepalanya yang tak gatal.
“Huuuuuuu...” teriak warga bersamaan. Pemangku Kuasa pun semakin salah tingkah.
“Ya sudah begini saja, kalau Sumpah memang harus ditemukan sebaiknya
Majelis Penyelamat Sumpah ditambah lagi orang-orangnya. Wanto, Endi,
Joko, dan yang lainnya juga bisa saya masukkan dalam Tim. Bagaimana?”
usul Pemangku Kuasa.
“Ah, nggak perlu. Buang-buang Tenaga dan biaya saja.” Pak Ali yang sedari tadi diam terdengar menyahut dari kejauhan.
“Hooooyyy.., bukankah itu Sumpah? Iya, itu Sumpah..” Teriak seorang
warga sembari menunjuk ke arah pohon Jengkol di samping pematang sawah
Pak Ali. Teriakannya mengejutkan para warga.
“Yaaa... itu Sumpah” teriak para warga. Mereka pun berkerubut
menuju pohon jengkol yang ditunjuk seorang warga tadi. Setelah mendekat
para warga pun dapat melihat dengan jelas sang Sumpah terkulai kuyu
terikat rapat menggantung di pohon jengkol milik Pak Ali.
“Ayo yang muda, siapa yang mau melepaskan ikatan yang melilit Sumpah itu.” Ujar pak Ali.
Tanpa bicara dan segera berinisiatif, Wanto pun langsung memanjat
pohon jengkol itu, memeng agak licin, namun dia tetap berusaha menggapai
Sumpah dan dia pun berhasil menggapainya. Dengan perlahan dan terlihat
cekatan Wanto pun melepaskan Sumpah dari ikatan yang melilit itu. Wanto
terlihat tersenyum saat berhasil melepaskan Sumpah dari ikatan yang
membelenggunya.
“Yoyoi... aku berhasil” teriak Wanto begitu gembiranya. saking
gembiranya tanpa disadarinya kakinya terlepas dari pijakan. Dia pun
terpeleset dan jatuh dari pohon jengkol itu.
Buk!! Wanto jatuh tepat di tumpukan jerami. Maeda dan beberapa warga
pun terpekik sembari berlarian megerubuti wanto yang terjatuh.
Saat warga sibuk mengerubuti tubuh si Wanto, tidak ada yang
menyadari seseorang di antara mereka telah menhilang. Ya, Pemangku Kuasa
telah menghilang dari kerumunan mereka. sementara Pak Ali dan Pak Saleh
dan beberapa orang segera memeriksa keadaan Wanto.
“Pak, aku ingin menikah. Sumpah.” Kata-kata itu meluncur begitu saja
dari mulut Wanto sedikit terbata-bata. Pak Ali dan Pak Saleh tersenyum
mendengar ucapan Wanto, sudut mata Wanto pun mencari-cari di mana Maeda,
didapatinya wajah Maeda tengah tersenyum ke arahnya. Tak berapa lama
Wanto pun tak sadarkan diri sembari memeluk Sumpah.
***
Sejak ditemukannya Sumpah, warga mulai mengatur kehidupannya kembali
seperti sedia kala. Namun satu hal yang aneh, Pemangku Kuasa tidak
pernah muncul di hadapan warga. Batang hidungya pun lenyap seiring
ditemukannya Sumpah. Seminggu berselang, ada kabar yang begitu
mengejutkan tentang Pemangku Kuasa. Ya, dia didapati oleh seorang warga
tergantung di pohon jengkol dengan tubuh membusuk digerogoti Sumpah.
Yogyakarta, 20 Juli 2014
Oleh : Wins
Catatan:
Ide penulisan cerpen ini berangkat dari kegelisahan saya akan
fenomena 'sumpah' yang terjadi di negeri ini. Awalnya saya melihat di
media -- sumpah/ ucapan Amin Rais : yang akan berjalan kaki dari
Jakarta ke Surabaya. Kemudian saya jadi teringat dengan kasus Anas
Urbaningrum yang bersumpah siap digantung di Monas, atau beberapa
pejabat negeri yg dengan tega mengkhianati nuraninya sendiri dengan
korupsi. Saya jadi kasihan dengan 'sumpah' itu sendiri. Seakan-akan
sumpah tidak ada artinya lagi. dan hanya dijadikan pelarian oleh
orang-orang yang frustasi. Ya, sumpah yang sudah menjadi simbol
kesakralan itu mendadak hilang.
Nah, terkait dengan PILPRES kali ini, kita lihat banyak orang yang
bersumpah, contohnya 'Mat-Dani yang berjanji siap dikebiri, anak Bang
Haji yang pengen tinggal di luar negeri, juga mbah Amin yang akan ke
Jogja dari Jakarta berjalan kaki. atau relawati yang siap bugil keliling
Bundaran HI. Nah.. pertanyaannya kemudian mereka berani nggak melakukan itu
seberani mereka mengucap sumpah? Kalau itu (mengucap sumpah) mereka
anggap hanya sekedar guyonan, maka alangkah tiada harga dirinya
'sumpah'.