Nilai Kolektivitas

Jika dilihat dari sudut pandang eksistensialisme dan individualisme dengan cara ekstrim atau bahkan serampangan, membangun sebuah kolektivitas tidak jauh bedanya dengan memenjarakan subjektivitas kita. Bahkan akan membuat otoritas diri kita layaknya seekor anjing yang tidak mampu menggonggong pada tuannya yang bernama “kolektivitas”. Kita hanya akan dipaksa untuk manut atas keputusan bersama, atau pun kita hanya akan dijadikan budak bagi sebuah nilai kebersamaan.

Tapi tidak ada salahnya dan sah-sah saja bila itu dilakukan dengan proporsional. Lagi pula pandangan tentang individu dan kebersamaan seperti yang di atas atau pun penggabungan antara keduanya (individu dan kebersamaan) tentu harus memiliki syarat-syarat tertentu dimana sang individu sudah mencapai tingkatan tertentu (bukan sosok sufi tentunya..), barulah suatu penggabungan bisa dilakukan. Yang saya maksud dengan tingkatan tertentu bukanlah seperti halnya kasta,tahta atau pun seperti makrifat dan sebagainya. Tetapi tentu saja tentang kemampuan diri dan sikap bijak serta kerelaan sang individu agar merasa yakin bahwa  nilai personal tidak jauh lebih baik dibanding nilai kolektivitas.

Kita sering mendengar kata “kolektivitas” dalam sehari-hari yang secara sederhana dapat dipahami atau dikatakan; kebersamaan dalam artian; lebih dari sekedar  person. Seperti halnya ketika kita membuat sebuah keputusan atau sebuah pekerjaan, kita sering merasa sudah mengerjakan sebuah pekerjaan dengan cara kolektif. Tentu tidak hanya sekedar itu saja, karena secara tidak sadar bila kita mampu mengerjakan sesuatu dengan kolektif, banyak sekali keuntungan yang bisa kita dapatkan. Tidak hanya sekedar mendapatkan pekerjaan yang mampu dan kita merasa mudah untuk melakukannya, atau pun yang lainnya, tetapi keuntungan yang tidak kita rasakan secara langsung pun pasti ada.

Memang agak sedikit narsis saya menjelaskan akan nilai sebuah kolektivitas, yang mungkin belum tentu saya sendiri bisa melakukan yang sebenarnya akan arti kolektivitas tersebut. Tapi setidaknya kita bisa memulainya dari hal-hal yang kecil-kecil terlebih dahulu  dengan melakukan pekerjaan yang hasilnya bisa kita rasakan langsung atau pun secara bertahap kita bisa menikmatinya. hasil yang akan kita capai pun harus jelas. Baik politik maupun organisasi. Intinya adalah kecil hasil basis penting.

Pekerjaan akan lebih mudah dengan adanya kolektif. Dengan pembagian kerja kolektif setidaknya kita akan terhindar dari budaya buntutisme dan lain sebagainya.. Banyak sekali keuntungan yang bisa kita hasilkan melalui kolektivitas. Hal yang sudah ter-cover seperti diatas tentu saja benar walaupun mungkin ada sedikit kekurangan tetapi hasil yang kita dapatkan akan jauh lebih banyak.

Terus bagaimana soal kerjasama yang dianggap sebagai perampok bagi subjektivitas!. Mungkin ini sedikit ada benarnya tapi salahnya akan lebih banyak, karena yang saya maksudkan dari kerjasama adalah kerjasama guna menuju sebuah kedamaian yang demokratis. Oleh karena itu dan berangkat dari itu semua kita pun perlu khawatir akan kehadiran individu-individu yang lemah, baik di dalam sebuah organisasi massa pemuda mahasiswa seperti halnya FMN atau pun organisasi-organisasi yang lainnya, bahkan bisa jadi  di negeri ini yang konon katanya “demokratis”.  Karena individu-individu yang lemah nantinya bisa jadi hanya akan menjadi penjilat-penjilat bokong kaum imperialis, dan berlanjutnya sebuah tradisi yang melahirkan penindas-penindas baru.  Atau setidaknya menjadi duri dalam daging atau api dalam sekam dalam tubuh sebuah organisasi.. Karena mereka yang lemah adalah mereka yang tidak percaya pada sebuah kolektivitas dan hatinya diegoiskan oleh pikirannya sendiri untuk selalu berkata “aku tak butuh siapapun”.

Kita sering terjebak dalam sebuah praktek  yang seakan kita ingin menjadi hero atau pun ingin dianggap hero,  dalam pembacaan suatu permasalahan pun kita masih sering terjebak dalam pikiran yang instan dan terkesan pragmatis. Kita selalu tergesa-gesa dalam menentukan pekerjaan dan tidak mau mendengarkan apa yang disampaikan teman yang berada di samping kita. Di sini gunanya seorang kolektif mampu mengarahkan kita dengan melihat kondisi objektif yang ada. Dan kita mungkin harus memiliki kepekaan sosial, dimana kolektivitas harus  memiliki kesamaan dalam melihat permasalahan serta kenyataan yang ada, dan pandangan yang sama dalam menentukan pekerjaan agar kita sadar bahwa kita akan benar-benar mampu untuk melakukannya.

Dalam hal pembagian pekerjaan pun kita kita harus mengerti dengan situasi dan kondisi kolektif kita. Agar pekerjaan yang diamanatkan tidak menjadi beban. Kesamaan dalam menentukan metode setidaknya bisa menghindarkan  diri  dari praktek liberal. Pembagian pekerjaan yang rapi dan tanggung jawab atas pekerjaan secara kolektif akan membuat kita sadar apa artinya kolektif tersebut.

Atas dasar kolektivitas kita akan mampu untuk mengeksekusi sebuah pekerjaan yang tentunya harus tetap ilmiah, dalam artian tidak hanya sekedar berbasis pada kenyataan atau kondisi objektif, tetapi juga menjelaskan cara merubah kenyataan yang lebih baik dan juga memberikan solusi untuk mengatasinya. Kita pun dituntut untuk selalu Jujur dan prinsifil dalam hal melihat suatu permasalahan,serta berkesinambungan. Tetap tegakkan prinsif dan langgam kerja.

Mungkin kita boleh untuk mengatakan bahwa kita tak butuh siapapun. Itupun bila demi mengangkat tinggi-tinggi bendera eksistensi dan takut kehilangan “aku” sebagai individu yang termarjinalkan. Tetapi kita harus faham bahwa eksistensi tidaklah selalu individualis dan kita tidak selalu bercermin pada diri sendiri, tetapi kita bisa bercermin pada orang lain..begitu pula sebaliknya. Pada intinya adalah setiap individu sangat membutuhkan interaksi dengan orang lain.

JAYALAH PERJUANGAN MASSA

Yogyakarta, 02 Juni 2008

Ditulis oleh: Wins
Baca Selengkapnya...
 

Copyright © sastra bocah lali omah