Diary Qur'an

Tak tahu aku bagaimana memulainya. Hampir tiga jam aku hanya bisa  berbengong diri tak bisa memikirkan apa yang mesti ku tulis. Mataku sebenarnya sudah terkantuk-kantuk hingga hendak ku rebahkan diriku melayani keinginan mata. Tapi enggan rasanya jika harus kuturuti, juga akibat fikiran-pikiran yang berkecamuk dalam otak silih berganti dan berubah-ubah tak tentu. bayangan-bayangan yang menjemukan bermunculan dalam benakku tiba-tiba muncul perut, ada kepala, ada  jalan raya.. kampung halaman sampai seisinya, ada pelajaran kuliah, e...ada tugas...
Entah bagaimana aku harus menuliskan langkah perjalananku dalam mengenal Al-Qur’an.  Daripada bengong mending ku tulis saja... apapun jadinya, tapi bukan ala-kadarnya.
Ada rasa sedikit malu  bila harus ku tuliskan pengalamanku bagaimana si Wiwin kecil mengenal Al-Qur’an. Berat rasanya bila harus ku ceritakan. Tapi ini penting! selain sebagai tugas mata kuliah Ulumul Qur’an, namun juga bisa ku jadikan sebagai caraku untuk mengingat masa lalu yang nantinya bisa di jadikan sebagai pijakan untuk ... yah, apa saja...!
Semilir angin masuk lewat ventilasi menyapu tubuhku, udara dingin menyelusup dalam pori-pori. Ku benarkan posisi selimut untuk menutupi kakiku dan memberikan kehangatan di situ. Di tengah tidurku yang ku rasa tak nyenyak, sayup-sayup ku dengar suara azan subuh dari masjid. Suara itu begitu berat terdengar sampai di penghujungnya.
Ku dengar suara gemericik air dari kamar mandi. Pasti ibu pikirku. Aku tetap tak memicingkan mata, aku masih berusaha melanjutkan mimpi. Namun tak juga aku tertidur. Aku pun beranjak dari tidurku dan keluar dari kamar. Kusaksikan ibuku ada di ruang tamu.
“Bu, mau pipis...” rengekku sambil tetap berdiri mematung di pinggir pintu kamarku.
Ibu tetap diam dan tampak khusyuk dalam sholatnya. Aku masih menunggu ibuku selesai dengan ibadahnya.  Dan perasaan takut yang ku rasakan bila harus ke kamar mandi sendiri. Yah... masih bocah. Maklumlah.
Tak berapa lama ibuku sudah menyelesaikan ibadahnya. Diantarnya aku ke kamar mandi.
Udah....tidur lagi sana” kata ibu setelah aku menyelesaikan pipisku.
Aku pun beranjak kembali ke tempat tidurku. Sedangkan ibu tak langsung melepaskan mukena yang dikenakannya.
Dari kamarku Kudengar suara ibu melantunkan sesuatu (entah apa... yang kemudian hari ku ketahui itulah yang dinamakan alqur’an, kitab suci umat Islam). Lantunan itu begitu mendayu-dayu dan memang sungguh menggodaku. Namun aku tetap tak beranjak dari tidurku. Akupun kembali tertidur diiringi suara ibu yang mendayu-dayu lirih membaca Al -Qur’an.
Hampir setiap hari ku saksikan dan kudengar ibu melantunkan Al-Qur’an. Ya...  suara itu keluar dari mulut ibuku hampir setiap pagi selepas sholat subuh. memori itu selalu terlintas di benakku. Saat itu umurku baru sekitar tiga tahun lebih. Aku belum mengenal apa itu Al-Qur'an. Jangankan mengerti maksudnya, membacanya saja aku masih belum bisa.
Hingga aku masuk SD baru aku kenal dengan tulisan Al-Qur’an.  Orang pertama yang mengenalkan ku dengan Al-Qur’an adalah ibuku. ibu mengajariku untuk membacanya. Biasanya selepas mghrib ibu mengajariku membaca alqur’an dengan cara menghafalkan huruf hijaiyah. Alif.... ba... ta...dst.
Hari-hari kujalani dengan apa adanya. Tak ada hal yang istimewa bagiku, aku tumbuh besar pun layaknya anak kebanyakan. Saban sore ibu selalu mengajakku  belajar mengaji  namun aku sering mengalami kebosanan karena aku tak mengerti maksud dari apa yang ku baca, apa artinya. Dan lebih memilih nonton TV (TV tetangga tentunya..).
Sore itu seperti biasa selepas maghrib aku kembali mengaji. Dan ibu satu satunya guru sedangkan aku satu-satunya murid. “Ini adalah pedoman hidup kita” kata ibu sembari tangannya memegang alquran yang sudah lapuk itu. Tetap saja aku tak mengerti maksudnya. Dan akupun tak berniat bertanya lebih lanjut apalagi  untuk menyanggahnya. Rasa 'ingin tahu'  itu terus ku pendam dan hanya bertanya-tanya dalam hati. Jangankan  mengaji dan membaca pun aku belum lancar.
Umurku terus bertambah hingga aku naik ke kelas tiga SD. Membaca aku sudah mulai lancar tapi mengaji aku masih belepotan. Hingga ada pengumuman akan dibuka Taman Bacaan Al- Qur’an (TBA...sejenis TPA) Sija Carana (inilah caranya). Aku pun bermaksud daftar di TBA tersebut. Ku utarakan maksudku tersebut pada ibu. Dengan senang hati ibu pun mendaftarkan aku.
Di TBA tersebut aku mulai belajar mengaji dimulai dari nol, maklum rata-rata muridnya belum bisa baca Al-Qur’an jadi pemerataan. Ada sekitar dua puluh santri, dan aku bangga menjadi salah satu santri angkatan pertama di TBA tersebut. Kami pun dibagikan buku IQRO’ I. Kemudian para santri dibagi 5 kelompok dengan guru damping satu. Dengan bekal pelajaran yang ku dapatkan dari ibu tentu aku tak banyak mengalami kesusahan.
Banyak pengalaman menarik yang ku alami ketika berada di TBA tersebut. Ada satu cerita yang berkaitan dengan seorang guru. anggap saja namanya pak Arifin. Seperti biasa selepas mengaji sebelum pulang ada ceramah atau cerita dari seorang guru. Kebetulan hari itu giliran pak Arifin (entah hari apa, tanggal berapa aku lupa).
“Ada yang tahu apa arti surat Al-Fatihah nggak?” tanya pak Arifin pada para santri. Namun santri-santri hanya diam.
Kemudian pak Arifin melanjutkan ceramahnya. Diambilnya satu Al-Qur’an tanpa terjemah dan mulai menerjemahkannya per ayat surat Al-Fatihah tersebut. Akupun terkagum-kagum dengannya, padahal dia tidak memakai Al-Qur’an terjemah.
Namun sontak kekagumanku buyar... dan terlintas bayanganku tentang tingkah-polah pak Arifin dalam kesehariannya.
“Bukankah pak arifin seorang penjudi?” Tanyaku namun hanya dalam hati. Ya, banyak sekali macam perjudian yang ada di desaku, dari anak-anak kecil sam pai kakek-kakek juga ada. Bahkan ada seorang haji yang memang suka judi. Judi seakan sudah menjadi budaya di desaku.
 “Kalau mau saya bisa kok menerjemahkan semua isi Al-Qur’an ini” kata pak Arifin sambil kemudian menhidupkan rokok. “Sombong” terbersit di otakku mendengar perkataan itu. Tiba-tiba terngiang perkataan ibuku: Al-Qul’an adalah pedoman hidup.
“Pak, apa maksudnya Al-Qur’an sebagai pedoman hidup?” tanyaku ditengah  pembicaraan Pak Arifin.
Tampak dia terdiam beberapa saat sambil menoleh ke arahku, dihisapnya rokok dalam-dalam, sedang matanya tajam menatapku. Ku tarik napas dalam-dalam sambil berharap pak Arifin tak mendampratku karena memotong pembicaraannya. Ah, semuga ucapan ibuku dapat ku jadikan pegangan dalam perjalanan hidupku kelak amin, doaku dalam hati. Huhhhh.
Yogyakarta, 10 april 2010
Catatan: ini adalah tugas 
Mata Kuliah                : Ulumul Qur’an
Dosen Pengampu        : Drs. H.M Syakir Ali
Disusun Oleh              : Wiwin Solikhin


Baca Selengkapnya...

Hidangkan Aku Kopi

saat gitarku tak mampu lagi mengiringi sayatan gemulainya nyanyianmu....
di masa  detik yang terketik untuk syairku terdengar picisan oleh senandungmu....
selagi  tubuhku tergeletak dalam layu dan sosok gersang ...sedang mataku terkulai dalam lagu dan kata usang....
hingga mulutku bungkam tak mampu lagi bersuara....
hidangkan aku kopi, sebagai penambah sempurnanya gatal tenggorokan yang serak mendahaga pilu...
benyanyilah semaumu..,
tapi jangan lupa..  hidangkanlah kopi itu... sementara aku beli rokok dulu

Yogyakarta, 29 Juni 2011
Baca Selengkapnya...
 

Copyright © sastra bocah lali omah